Selasa, 20 Februari 2018

praktikum teknologi daging boneles ayam pedaging

PENDAHULUAN
Dasar Teori
Untuk memperoleh karkas yang baik, prosessing perlu dilakukan di tempat pemotongan yang bersih dengan cara yang baik dan benar. Karkas yang baik adalah karkas yang besih, higienis dengan penampilan menarik.
Karkas ayam dibuat klasifikasinya berdasarkan bagian-bagian tubuh (Rasyaf, 2003). Selama proses pengolahan akan terjadi kehilangan berat hidup kurang lebih 1/3 bagian (berat daging siap masak itu nantinya kurang lebih 2/3 dari berat hidupnya) karena bulu, kaki, cakar, leher, kepala, jeroan atau isi dalam dan ekor dipisah dari bagian daging tubuh dengan demikian daging siap masak itu hanya tinggal daging pada bagian tubuh tambah dengan siap masak itu 75% dari berat hidup (Rasyaf, 2003).
Persentase bagian non karkas pada ayam broiler untuk setiap umur berbeda-beda yaitu pemotongan 8 minggu persentase karkasnya untuk jantan 64,6%, kepala dan leher 6,5%, kaki 3,3%, hati 2,6%, ampela 4,4%, jantung 0,6%, usus 6,6%, darah 5,4%, dan bulu 6,0%. Untuk betina karkas 71%, kepala dan leher 4,8%, kaki 4,5%, hati 3,1%, ampela 5,6%, jantung 0,6%, usus 0,5%, darah 4,2% dan bulu 9,6% (Murtidjo, 2003).
Sekarang ini ayam broiler di pasarkan dalam bentuk potongan-potongan komersial. Proposal bagian-bagian karkas seperti paha memiliki persentase 10 %, sayap sebanyak 15 %, betis 17 % dan dada 30 % dari bobot karkas. Bagian bobot dada dan punggungnya dapat di belah dua, sehingga potongan karkas komersial berjumlah 10 bagian. Bobot karkas berbeda-beda untuk setiap umurnya seperti pada umur 8 minggu memiliki bobot karkas sekitar 1,995 gram dengan persentase bagian-bagian karkas yaitu lemak abdominal 4,3%, sayap 9,6%, betis 13,0%, paha 16,6%, dada bertulang 34,2% dan dada tanpa tulang 22,6% (Amrullah, 2002).
Persentase karkas tidak banyak berpengaruh terhadap kualitas karkas namun penting pada penampilan ternak sebelum dipotong. Pembeli ternak akan memperkirakan nilai karkas dari penampilan ternak sewaktu ternak tersebut masih hidup. Bila pembeli menaksir persentase karkas terlalu tinggi misalnya 1% saja, Faktor-faktor yang mempengaruhi persentase karkas adalah konformasi tubuh dan derajat kegemukan. Ternak yang gemuk, persentase karkasnya tinggi dan umumnya berbentuk tebal seperti balok (Kartasudjana, 2001).
Giblet atau jeroan merupakan hasil ikutan  yang dapat dimakan, biasanya terdiri dari hati, jantung dan ampela. Hati merupakan organ yang berfungsi sebagai alat penyaring zat-zat makanan yang diserap sebelum masuk dalam peredaran darah dan jaringan-jaringan (Abubakar dan Nataamijaya, 1999:178), terdiri dari lobi kanan dan kiri yang hampir sama ukurannya, bagian tepinya secara normal adalah lancip dan bila terjadi pembesaran menjadi bulat (Mc Lelland, 1990 yang disitasi oleh Sajidin, 1998:9)
Hati unggas berwarna kecoklatan sampai coklat muda kekuningan dengan bobot 45 sampai 51 g atau 1,7 sampai 2,3 % dari bobot hidup (Abubakar dan Nataamijaya, 1999:178). Warna hati tergantung pada nutrisi, warna hati yang normal adalah coklat kemerahan atau coklat terang dan apabila makanan mengandung lemak tinggi warnanya menjadi kuning (Mc Lelland, 1990 yang disitasi oleh Sajidin, 1998:8).
Persentase hati pada pemotongan umur 8 minggu untuk broiler jantan adalah 2,6% dan untuk broiler betina adalah 3,1% sedangkan pada pemotongan umur 10 minggu untuk broiler jantan adalah 2,1% dan untuk broiler betina adalah 3,7% (Murtidjo, 1987:10).
Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang bentuknya menyerupai kerucut yang berfungsi memompakan darah ke dalam bilik-bilik atrial dan kemudian memompakan darah tersebut dari ventrikel menuju ke jaringan dan kembali lagi. Katup-katup jantung terbuka dan tertutup mengikuti urutan yang tepat agar darah mengalir kesalah satu jaringan saja (Frandson, 1992:438). Persentase bobot jantung yang normal berkisar antara 0,50 sampai 1,42% dari bobot hidup (Nickel et al., 1977 yang disitasi oleh Abubakar dan Nataamijaya, 1990:179). Pada pemotongan umur 8 minggu persentase jantung pada broiler jantan dan betina adalah 0,6% dan pada pemotongan umur 10 minggu untuk broiler jantan adalah tetap dan broiler betina menurun menjadi 0,4% (Murtidjo,1987:10).
Ampela merupakan otot yang tebal dan memiliki dua lubang kecil, lubang pertama untuk memasukkan makanan dari proventrikulus dan lubang kedua untuk melanjutkan makanan ke duodenum. Ampela seringkali dinamakan perut otot yang berfungsi untuk menghasilkan dan menggiling makanan kasar sebelum masuk ke usus (Abubakar dan Nataamijaya, 1999:178).
Ampela mempunyai otot-otot kuat yang dapat berkontraksi secara teratur untuk menghancurkan makanan sampai menjadi bentuk pasta yang dapat masuk ke dalam usus halus. Ampela biasanya mengandung grit (batu kecil dan pasir) yang akan membantu pelumatan biji-biji yang masih utuh (Tillman et al., 1991:192). Grit esensial untuk pencernaan yang optimum karena grit dapat meningkatkan pergerakan dan penggilingan ampela serta meningkatkan daya cerna bahan pakan kasar. Walaupun demikian, ada tidaknya grit tidak akan mempengaruhi pertumbuhan maupun reproduksi unggas (Sajidin, 1998:11).
Persentase ampela pada pemotongan umur 8 minggu untuk broiler jantan adalah 4,4% dan broiler betina 3,1% sedang pada pemotongan umur 10 minggu untuk broiler jantan adalah 4,4% dan broiler betina 4,2% (Murtidjo, 1987:10).

Tujuan
Mengetahui cara melakukan prosessing broiler
Mengetahui karkas ayam broiler























BAB II
MATERI DAN METODE PRAKTIKUM
MATERI PRAKTIKUM
ALAT
Pisau Scalpel dan Sticking/runcing
Timbangan
Talenan
Kompor dan Panci
BAHAN
Ekor Ayam Broiler
Air Panas
METODE PRAKTIKUM
Prosedur pemotongan Ayam
Menimbang ayam sebelum pemotongan untuk mengetahui bobot hidup ayam


Memotong ayam pada bagian leher yaitu vena jugularis, arteri karotis dan eshopagus sampai terputus dan tampung darah yang keluar agar diketahui berat darah. Setelah ayam benar-benar mati, segera celupkan ayam dalam air panas 800 C selama 1 menit dan kemudian dilakuakan pencbutan bulu sampai bersih dan timbang ayam tersebut untuk mengetahu berat bulu.


Mengeluarkan isi rongka perut (jeroan) dan timbang, isi rongga dada (jantung, hati dan empedal), pisahkan kepala sampai leher dan kaki (shank). Bersihkan alat pencernaannya dan timbang masing-masing organ dalam tersebut.


Timbang karkas dan hitung presentase karkasnya.


Dengan rumus sebagai berikut:
Presentase karkas (%) = (A/B) x 100%
Dimana A = Bobot Karkas (gram)
B = Bobot hidup (gram)
Prosedur Pembagian Karkas Ayam
Lepaskan kaki dan kepala ayam


Dalam posisi terlentang, tarik salah satu kaki ayam menjauhi tubuh, kulit diiris hingga sendi tulang (pangkal paha). Kaki ini terdiri atas dua bagian yaitu bagian paha atau drumstick dan bagian tibia atau thigh.


Kaki di bagi pada batas persendian menjadi dua bagian yaitu drumstik dan thigh.


Sisa karkas pisahkan bagian punggung (batas antara tulang punggung tulang rusuk)


Pisahkan bagian dada (breast). Kemudian pisahkan otot/daging dada (sasimi = pectoralis superficialis) yang biasa dipakai sebagai sampel dalam pengujian kualitas daging ayam

















BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Diketahu :
Berat ayam hidup (A) = 1,5 kg
Berat ayam mati (B) = 1,425 kg
Berat ayam tanpa bulu (C) = 1,4 kg
Berat Non Karkas
Berat Giblet = 41 g
Berat jeroan kotor = 109 g
Berat shank = 61 g
Kepala dan leher = 72 g
Jeroan bersih = 89 g
Berat Karkas
Paha kanan = 74 g
  Paha kiri = 77 g
Paha atas kanan = 70 g
Paha atas kiri = 77 g
Sayap kanan = 61 g
Sayap kiri = 54 g
Dada = 427 g
Punggung = 236 g
Berat karkas total = 1076 g

PEMBAHASAN
Kegiatan praktikum yang dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Peternakan Universitas Mercu Buana Yogyakarta yang mana melakukan prosessing ayam broiler guna mengetahui bagaimana kualitas karkas itu baik dan layak dikonsumsi. Pemotongan ayam itu sendiri harus dilkukan dengan benar dan disembelih sesuai dengan kriteria halal. Ayam yang telah dipotong lalu dibului, pencabutan bulu secara manual yaitu dengan perendaman ke dalam air bersuhu 30 – 50°C agar mudah dibului. Dalam prosessing ini yang tidak termasuk ke dalam karkas adalah kaki dan leher. Karkas broiler adalah daging bersama tulang hasil pemotongan, setelah dipisahkan dari kepala sampai batas pangkal leher dan dari kaki sampai batas lutut serta dari isi rongga perut ayam. Karkas diperoleh dengan memotong ayam broiler kemudian menimbang bagian daging, tulang, jantung dan ginjal (Kamran, 2008). Aviagen (2006) menyatakan bobot karkas ayam broiler berkisar antara 1750-1800 gram atau 71-73% dari bobot badan. persentase ayam broiler siap potong menurut Bakrie et al. (2002), adalah 58,9%.
Karkas yang di dalamnya berisi berbagai organ tubuh ayam yang berupa hati, jantung, lifa, gizard, empedu, usus (duodenum, yeyenum, ileum), sekum dan rektuk dikeluarkan dari karkas. Hal ini berguna untuk melihat lemak abdoman yang melekat pada karkas broiler.
Lemak abdominal adalah lapisan lemak yang terdapat disekitar gizzard dan lapisan antara otot abdominal dan usus. Lemak abdominal yang merupakan kombinasi berat lemak abdomen dan lemak yang melekat pada ampela, sering dipergunakan sebagai petunjuk perlemakan ayam broiler. Lemak abdominal mempunyai korelasi yang tinggi dengan total lemak tubuh dan lemak pada berbagai depot (Soeparno, 1992:15).

Berat Darah = A-B
= 1,5 – 1,425
= 0,75 Kg
Berat Bulu = B-C
= 1,425 – 1,4
= 0,025 kg
Presentase Karkas (%) = Bobot Karkas x 100%
  Bobot Hidup
= 1076 x 100%
   1500
= 71,73 %





BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka dipeolehkesimpulan bahwa :
Komponen-komponen karkas terdiri atas paha, dada, sayap, punggung dankulit dengan lapisan lemaknya. Selain itu juga ada komponen non karkasterdiri dari kaki, sayap, kepala dan leher. Sedangkan isi dalam meliputiusus, gizzard, hati, jantung dan lain-lain.
Dari praktikum tersebut di dapatkan
Berat Non Karkas
Berat Giblet = 41 g
Berat jeroan kotor = 109 g
Berat shank = 61 g
Kepala dan leher = 72 g
Jeroan bersih = 89 g
Berat Karkas
Paha kanan = 74 g
Paha kiri = 77 g
Paha atas kanan = 70 g
Paha atas kiri = 77 g
Sayap kanan = 61 g
Sayap kiri = 54 g
Dada = 427 g
Punggung = 236 g
Berat karkas total = 1076 g
Berat darah yaitu 0,75 kg
Berat bulu yaitu 0,025 kg
Dan presentase karkas yaitu 71,73 %



DAFTAR PUSTAKA

Abubakar R, Dharsana, Nataamijaya RG. 1998. Preferensi dan nilai gizi daging ayam hasil persilangan (pejantan buras dengan betina ras) dengan pemberian jenis pakan yang berbeda.  Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 1-2 Des 1998. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 1998. hlm 779–785
Amrullah. I. K. 2006. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi, Bogor.
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed ke-4. Srigandono B, Praseno K, penerjemah; Soedarsono, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pr.
Nickel RA, Schummer, Seiferle E, Siller WG, Wight PHL. 1977. Anatomy of Domestic Bird. Berlin: Verlag Paul Parey.
Murtidjo, B.A. 1991. Mengelola Ayam Buras. Kanisius, Yogyakarta.
Rasyaf, M. 1994. Makanan Ayam Broiler. Yayasan Kanisius, Yogyakarta.
Suprijatna, E., U. Atmomarsono dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekodjo S. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

mal nutrisi dan mal absorbsi

.    Malnutrisi
Malnutrisi adalah keadaan dimana ternak tersebut kekurangan nutrisi-nutrisi pokok yang dibutuhkan untuk hidup pokoknya. Pada ternak pedet yang diamati, pedet tersebut menunjukkan salah satu gejala seperti yang tampak pada ternak yang mengalami malnutrisi yaitu keadaan ternak yang sangat kurus dan tampak lemah. Kemungkinan, hal tersebut dapat terjadi karena perawatan ternak (manajemen pemeliharaan) yang kurang baik; konsumsi pakan yang sedikit karena ternak tersebut juga menderita penyakit pada kukunya yang membuat pedet tersebut pincang dan susah berjalan; jenis pakan yang diperoleh kurang berimbang nilai nutrisinya; ataupun penggembalaan di lingkungan yang kurang baik. Apabila idntifikasi tersebut benar, maka ternak tersebut harus ditolong/diobati dengan pemberian pakan bernilai gizi seimbang, pemberian obat-obat sebagai vitamin, pemeliharaan yang baik (terawat) dan di lingkungan yang memudahkan bagi ternak tersebut makan dan memenuhi kebutuhan hidup pokonya.

Malabsorbsi
Pada kondisi malabsorbsi, nutrisi pada pakan yang di cerna tidak akan terserap sempurna. Kondisi ini dapat di identifikasi dengan beberapa pengujian antara lain dengan hitung darah lengkap (CBC). Pada kondisi malabsorbsi akan terjadi kondisi anemia, hypoproteinemia, hypoalbuminemia, hypokalemia, hypocalcemia, hypomagnesemia, dan metabolic acidosis. Selain itu pada kondisi malabsorbsi juga akan terjadi penurunan kadar triglycerides, cholesterol, serta alpha dan beta carotene. Dapat juga dilakukan uji penyerapan lemak yaitu dengan melihat kadar lemak dalam feses. Pada kondisi malabsorbsi biasanya lemak tidak akan terserap (Al Kaade 2013). Akibat kurangnya nutrisi, hewan mengalami penurunan berat badan (kekurusan) yang parah, serta kekurangan berbagai macam nutrisi penting yang dibutuhkan oleh tubuh. Pada hewan yang mengalami malnutrisi biasa juga di tunjukkan adanya diare kronis. Bila terjadi kasus hypoproteneimia biasanya ditunjukkan adanya gejala dehidrasi, anemia, dan ascites atau edema. Selain itu, kondisi malnutrisi juga akan ditandai oleh adanya kondisi feses yang berlemak (Khan 2011). Kondisi kekurusan atau kaheksia merupakan suatu kondisi yang menggambarkan keadaan penurunan bobot badan yang parah. Umumnya pada kondisi kekurusan bobot badan lebih rendah 15 sampai 40% dari bobot badan normal. Selain itu, kondisi kekurusan juga dikaitkan dengan persediaan cadangan lemak dalam tubuh. Cadangan lemak pada hewan yang kurus lebih sedikit dari hewan normal. Umumnya hewan yang menderita kekurusan yang berat tidak hanya mengalami kekurangan energi tapi biasanya diikut oleh stress, cedera atau penyakit yang mempercepat terjadinya penurunan bobot badan seperti hypermetabolism. Pada hewan yang mendertia kekurusan yang berat kerusakan protein otot terjadi lebih lambat dari perubahan protein tubuh lainnya. Apabila gejala klinis sudah menunjukkan hilangnya otot dalam jumlah yang besar maka dimungkinkan kondisi tersebut sudah berada pada kondisi yang berat dan kronis (Watson & Dunn 2000). Selain menyebabkan kekurusan, kondisi malnutrisi juga dapat menyebabkan kondisi kerontokan dan kebotakan. Rambut merupakan bagian dari kulit yang memiliki bahan penyusun utama berupa serat kolagen yang terbentuk dari protein. Bila asupan nutrisi berkurang maka asupan protein tubuh juga berkurang. Hal ini, dapat menyebabkan pembentukan kulit dan rambut menjadi tidak sempurna sehingga memudahkan terjadinya kerontokan dan kebotakan. Secara normal, rambut mengalami kerontokan fisiologis, yaitu pada saat terjadinya proses pergantian rambut, namun apabila kerontokan yang terjadi dalam jumlah yang banyak hal ini akan terkait dengan kondisi patologis. Kerontokan rambut dalam jumlah besar dapat menyebabkan terjadinya kebotakan. Malnutrisi juga menyebabkan kondisi kekebalan tubuh menurun sehingga memudahkan terjadinya infeksi dalam tubuh. Sel-sel kekebalan tubuh juga merupakan sel yang sebagian besar bahan pembentukanya ialah protein. Kondisi malabsorbsi yang menyebabkan rendahnya kadar protein dalam darah tentu akan mempengaruhi pembentukan sel-sel pertahanan tubuh. Rendahnya kadar protein menyebabkan sel-sel pertahanan tubuh tidak dapat terbentuk sehingga proses kekebalan tubuh tidak terjadi. Hal ini tentu sangat berbahaya karena semakin memudahkan terjadinya proses infeksi.

Gejala klinis :
Tergantung umur hewan, hewan bunting atau menyusui dan lingkungan. Pada hewan muda mengakibatkan pertumbuhan terbelakang, keterlambatan masa dewasa kelamin
Pada hewan dewasa, penurunan produksi susu dan masa menyusui dipersingkat
Defisiensi energy yang berkepanjangan, bunting untung sapi heifers akan mengakibatkan kegagalan untuk menghasilkan jumlah colostrums yang memadai pada masa melahirkan. Pada hewan dewasa juga ditandai hilangnya berat badan. Anestrus yang berkepanjangan berlangsung hingga beberapa bulan, yang memiliki efek yang ditandai pada kinerja reproduksi.
Betina primigravida sangat rentan terhadap malnutrisi protein – energy karena syarat pertumbuhan dan keseimbangan.
Kekurangan energy yang berkepanjangan selama akhir kehamilan dapat mengakibatkan neonates lemah dengan tingkat kematian yang tinggi.
Kekurangan energy selama periode yang berkepanjangan pada musim dingin dengan kualitas serat yang sangat rendah terutama pada sapi yang bunting dan domba betina dapat menyebabkan implikasi abomasal.
Pada cuaca yang sangat dingin, hewan akan memobilisasi energy yang tersimpan sebagai lemakl atau otot sehingga hal demikian dapat menurunkan berat badan yang sangat signifikan.
Impaksi dari abomasums dan forestomaches pada sapi
Defisiensi kebutuhan energy yang berlebihan dapat terjadi kematian
Defisiensi energy berupa lemak, pada sapi bunting dan domba betina menyebabkan kelaparan ketosis dan kehamilan toksemia, hyperlipemia terjadi pada lemak.
Anak sapi yang baru lahir berumur 7 hati dapat mengakibatkan kerugian yang signifikan dari perirenal dan sumsum tulang lemak dan tampak penipisan omentum
Malnutrisi janin kronis
Malnutrisi energy – protein: kelemahan, hilangnya berat badan, sikap mental normal, keinginan untuk makan, sapi dengan hypocalemia bersamaan akan anorexia. Kurang kolostrum saat kelahiran, meminum kencing dari hewan itu sendiri, sapi akan mati dalam waktu 7 – 10 hari. Pada sapi perah, berat badan turun, tidak aktif, lesu, akan mati pada waktu 2 – 4 minggu. Diare dapat terjadi secara bersamaan.
Prognosis :
Outlook atau prognosis tergantung pada penyabab dari malnutrisi itu sendiri. Malnutrisi pada umumnya dapat diperbaiki atau ditangani. Bagaimanapun, jika malnutrisi disebabkan oleh kondisi medis, penyakit tersebut harus diobati untuk membalikkan malnutrisi (dikembalikan ke kondisi fisiologis). Tingkatan : fausta

Minggu, 18 Februari 2018

potensi dan pengembangan sapi potong di indonesia

POTENSI DAN PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI INDONESIA




Disusun Oleh :
Nama : KUSWORO
NIM : 15021001


PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS AGROINDUSTRI
UNIVERSITAS MERCUBUANA YOGYAKARTA
2017


PENDAHULUAN
Ternak sapi potong dapat ditemukan hampir di seluruh penjuru dunia dengan berbagai macam pemeliharaan, tergantung pada kondisi setempat. Di Indonesia, penyebaran ternak sapi potong belum merata. Ada beberapa daerah yang sangat padat, ada yang sedang, tetapi ada yang sangat jarang dan terbatas populasinya. Tentu saja hal ini dikarenakan beberapa faktor, antara lain faktor pertanian atau lahan, kepadatan penduduk, iklim, dan daya aklimatisasi, serta adat-istiadat dan agama.
Permintaan daging sapi kian hari kian meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh semakin tingginya kesejahteraan masyarakat. Kendati demikian, jumlah populasi sapi potong di indonesia tidak seimbang dengan jumlah penduduk yang ada di indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan produktivitas, produksi maupun populasi sapi potong dalam rangka mendukung program kecukupan daging.
Produksi daging dalam negeri diharapkan mampu memenuhi 90 – 95% kebutuhan daging nasional. Karena itu, pengembangan sapi potong perlu dilakukan melalui pendekatan usaha yang berkelanjutan, didukung dengan industri paan yang mengoptimalkan pemanfaatan bahan pakan lokal spesifik lokasi melalui pola yang terintregasi. Hingga kini, upaya pengembangan sapi potong belum mampu memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, selain rentan terhadap serangan penyakit. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai kelemahan dalam sistem pengembangan peternakan. Oleh karena itu, perlu diupayakan model pengembangan dan kelembagaan yang tepat berbasis masyarakat dan secara ekonomi menguntungkan. Pemerintah sebaiknya menyerahkan pengembangan peternakan ke depan kepada masyarakat melalui mekanisme pasar bebas. Pemerintah lebih berperan dalam pelayanan dan membangun kawasan untuk memecahkan permasalahan dasar dalam pengembangan peternakan sehingga dapat mengaktifkan mekanisme pasar. Usaha peternakan hendaknya dapat memacu perkembangan agroindustri sehingga membuka kesempatan kerja dan usaha. Implikasi kebijakan dari gagasan ini adalah perlu dibuat peta jalan pembangunan peternakan nasional dan diuraikan secara rinci di setiap wilayah pengembangan ternak.



PEMBAHASAN

Segitiga peternakan, merupakan kunci keberhasilan dari usaha peternakan. Segitiga peternakan terdiri dari pakan, genetik, dan manajemen. Ketiga pilar tersebut haruslah berkaitan dan bertumpu satu sama lain supaya keberhasilan beternak dapat tercapai. Pakan berpengaruh besar terhadap unsur peternakan, karena menyumbang lebih dari 70% dalam usaha peternakan. Demikian juga dengan genetik, pakan yang berkualitas namun tidak didukung dengan kemampuan genetik yang unggul, maka hal itu tidak akan optimal. Terakhir adalah manajemen, setelah kedua unsur segitiga peternakan telah terpenuhi maka faktor manajemen akan menentukan kemana arah dari usaha itu, apakah hanya untuk sekedar memelihara atau untuk diprogres menjadi usaha bahkan industri.
Populasi sapi potong di indonesia pada tahun 2016 berjumlah 16,09 juta ekor, dengan populasi terbanyak berada di propinsi jawa timur dengan populasi 4,53 juta ekor, jawa tengah dengan populasi 1,68 juta ekor, sulsel dengan populasi 1,35 juta ekor, dan di ikuti propinsi lainnya. Sedangkan populasi yang paling sedikit berada di propinsi DKI Jakarta dengan populasi 938 ekor (badan pusat statistik, 2016).
Potensi Pasar Sapi Potong
Kebutuhan daging sapi terus meningkat seiring makin baiknya kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk, dan meingkatnya daya beli masyarakat. Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri yaitu dengan meningkatkan populasi, produksi, dan produktivitas sapi potong. Indonesia dengan jumlah penduduk hampir 250 juta orang dengan laju pertumbuhan 1,01%/ tahun merupakan pasar potensial bagi produk peternakan (bamualim et al.2008).
Ditinjau dari sisi potensi yang ada, indonesia selayaknya mampu memenuhi kebutuhan pangan asal ternak dan berpotensi menjadi pengekspor produk peternakan. Hal tersebut dimungkinkan karena didukung oleh ketersediaan sumber daya ternak dan peternak, lahan dan berbagai jenis tanaman pakan, produk sampingan industri pertanian sebagai sumber pakan, serta ketersediaan inovasi teknologi. Jika potensi lahan yang ada dapat dimanfaatkan 50% saja maka jumlah ternak yang dapat ditampung mencapai 29 juta satuan ternak (ST). Belum lagi kalau padang rumput alam yang ada diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya dengan menggunakan rumput unggul sehingga daya tampungnya meningkat secara nyata (Bamualim et al. 2008).
Pengembangan usaha peternakan sapi rakyat saat ini sangat berpotensi untuk dilakukan, untuk menunjang program pemerintah melalui swasembada daging sapi. Kegiatan tersebut merupakan upaya mengurangi jumlah impor daging sapi sejak tahun 2014 sampai sekarang. Semua kegiatan tersebut dimaksudkan untuk menyediakan daging sapi bagi masyarakat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Selain itu, bertujuan untuk meningkatkan jumlah konsumsi protein penduduk Indonesia yang masih berkisar 53,108 kg/kapita/thn (Buletin Konsumsi Pangan, 2014).
Program swasembada daging sapi sebagai upaya penyediaan gizi bagi masyarakat, masih mengalami kendala karena tidak diikuti oleh perbaikan genetik ternak sapi. Menurut Subandriyo (2004), pola pemeliharaan tradisional berdampak pada menurunnya potensi ternak sapi yang terekspresikan pada penurunan mutu genetik, dimana dapat diidentifikasi melalui penurunan performan anak yang merupakan bentuk ancaman keunggulan potensi genetik sapi.

Pola  Usaha Sapi Potong
Pembibitan dan Penggemukan
 Sistem pemeliharaan sapi potong di indonesia dibedakan menjadi 3, yaitu intensif, ekstensif dan campuran ( mixed farming). Pada pemeliharaan secara intensif, sapi dikandangkan secara terus menerus atau hanya dikandangkan pada malam hari dan pada siang hari ternak digembalakan. Pola pemeliharaan sapi secara intensif banyak dilakukan petani – peternak jawa, madura, dan bali. Pada pemeliharaan ekstensif, ternak dipelihara di padang penggembalaan dengan pola pertanian menetap atau di hutan. Pola tersebut banyak dilakukan peternak di NTT, kalimantan dan sulawesi (sugeng 2006).
Dalam pembibitan sapi potong, pemeliharaan ternak dapat dilakukan dengan sistim pastura (penggembalaan), sistim semi intensif, dan sistim intensif.
1. Sistim pastura yaitu pembibitan sapi potong yang sumber pakan utamanya berasal dari pastura. Pastura dapat merupakan milik perorangan, badan usaha atau kelompok peternak.
2. Sistim semi intensif yaitu pembibitan sapi potong yang menggabungkan antara sistem pastura dan sistem intensif. Pada sistem ini dapat dilakukan pembibitan sapi potong dengan cara pemeliharaan di padang penggembalaan dan dikandangkan.
3. Sistem intensif yaitu pembibitan sapi potong dengan pemeliharaan di kandang. Pada sistem ini kebutuhan pakan disediakan penuh.
Berdasarkan tujuan produksinya, pembibitan sapi potong dikelompokkan ke dalam pembibitan sapi potong bangsa/rumpun murni dan pembibitan sapi potong persilangan.
1. Pembibitan sapi potong bangsa/rumpun murni, yaitu
perkembangbiakan ternaknya dilakukan dengan cara mengawinkan sapi yang sama bangsa/rumpunnya.
2.Pembibitan sapi potong persilangan, yaitu perkembangbiakan ternaknya dilakukan dengan cara perkawinan antar ternak dari satu spesies tetapi berlainan rumpun.( permentan nomor 54/permentan/OT.140/10/2006).
Menurut uu nomor 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan bab IV pasal 13 bahwa penyediaan dan pengembangan benih, bibit dan / atau bakalan dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri dan kemampuan ekonomi kerakyatan. Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan / atau pembib itan dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjamin ketersediaan benih, bibit, dan / atau bakalan. Dalam hal usaha pembenihan dan / atau pembibitan oleh masyarakat belum berkembang, pemerintah membentuk unit pembenihan dan / atau pembibitan.
Penjelasan dari pasal diatas yaitu penyediaan dan pengembangan bibit atau bakalan diutamakan produksi dalam negeri atau memanfaatkan sumber daya genetik asli indonesia, misalnya ternak rumpun murni dan silangan, baik dalam bentuk ternak komposit maupun hibrida. Pembibitan dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung oleh rakyat. Peran pemerintah dalam hal penyediaan bibit yaitu dengan menyediakan bibit – bibit unggul yang dikelola oleh Balai Inseminasi Buatan dan Balai Embrio Ternak.

2. Pola Integrasi Sapi – Tanaman
Pengembangan sistem integrasi tanaman – ternak (sapi) bertujuan untuk mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan pertanian melalui penyediaan pupuk organik yang memadai, mendukung upaya peningkatan produktivitas tanaman, mendukung upaya peningkatan produksi daging dan populasi ternak sapi, dan meningkatkan pendapatan petani atau pelaku pertanian.
Model integrasi tanaman – ternak dapat mengatasi masalah ketersediaan pakan. Ternak dapat memanfaatkan limbah tanaman seperti jerami padi, jerami jagung, limbah kacang – kacangan dan limbah pertanian lainnya, terutama pada musim kemarau. Limbah pertanian dapat menyediakan pakan 33,30% dari total rumput yang dibutuhkan. Pemanfaatan limbah pertanian, selain mampu meningkatkan ketahanan pakan terutama pada musim kemarau, juga dapat menghemat tenaga kerja untuk menyediakan pakan (rumput), sehingga memberi peluang bagi petani untuk meningkatkan jumlah ternak yang dipelihara (Kariyasa, 2005).

3. Sistem Agribisnis dan Kemitraan Sapi Potong
Sistem agribisnis sapi potong merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian secara simultan dengan pembangunan sektor industri dan jasa yang terkait dalam suatu kluster industri sapi potong. Kegiatan tersebut mencakup empat subsistem, yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis budi daya, subsistem agribisnis hilir, dan subsistem jasa penunjang (Saragih dalam Suwandi 2005).

Kebijakan Pengembangan Sapi Potong
Pengembangan peternakan sapi potong dilakukan bersama oleh pemerintah, masyarakat (peternak skala kecil), dan swasta. Pemerintah menetapkan aturan main, memfasilitasi serta mengawasi aliran dan ketersediaan produk, baik jumlah maupun mutunya agar memenuhi persyaratan halal, aman, bergizi, dan sehat. Swasta dan masyarakat berperan dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan melalui kegiatan produksi, impor, pengolahan, pemasaran, dan distribusi produk sapi potong (Bamualim et al. 2008).
Sejarah perkembangan peternakan menunjukkan bahwa pusat produksi usaha peternakan sapi potong berada di kantong-kantong produksi usaha tani. Hal ini membuktikan bahwa ternak merupakan sumber tenaga kerja dan pupuk bagi usaha tani. Konsekuensinya, ternak akan diberi pakan hasil ikutan produksi pertanian yang umumnya berkualitas rendah. Oleh karena itu, petani perlu dibekali pengetahuan tentang cara meningkatkan kualitas pakan yang ada di sekitar mereka sehingga produktivitas usaha meningkat (Tawaf dan Kuswaryan 2006).
Menurut peraturan menteri pertanian nomor 59/permentan/HK.060/8/2007 tentang pedoman percepatan pencapaian swasembada daging sapi bahwa kebijakan operasional percepatan swasembada daging sapi diprioritaskan pada daerah pertumbuhan sapi potong. Dengan demikian diharapkan melalui optimasi sumber daya yang ada, dapat mendukung penyediaan daging sapi dalam negeri. Kebijakan yang ditempuh sebagai berikut :
Pengembangan Mutu Bibit Sapi Potong
Percepatan pengembangan mutu bibit sapi potong ditempuh dengan pengembangan mutu genetik sapi potong, untuk mengurangi ketergantungan bakalan dari luar negeri dengan pendekatan bioteknologi, inseminasi buatan, dan atau embrio transfer. Investasi dilakukan oleh Pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk percepatan produksi bibit sapi potong bermutu di dalam negeri.
Pengembangan Pakan Ternak Sapi Potong
Pengembangan pakan sapi potong diarahkan dengan mempertimbangkan: daerah padat atau jarang penduduk, potensi kawasan pengembangan, ketersediaan limbah hasil produksi pertanian dan industri pertanian lainnya. Untuk daerah padat penduduk, ketersediaan pakan diarahkan pada pemanfaatan limbah pertanian dan limbah industri pertanian. Untuk daerah jarang penduduk dilakukan perbaikan padang penggembalaan (perbaikan kualitas pakan, pembuatan embung, pembuatan shelter dan garam jilat).
Pengendalian Penyakit Reproduksi dan Keswan
Penanganan gangguan reproduksi dan penyakit hewan pada dasarnya untuk mengurangi kemungkinan induk tidak menghasilkan anak akibat penyakit reproduksi seperti Brucellosis, leptospirosis, IBR dan lain-lain.
Pelaksanaan IB menjadi lebih optimal, apabila secara berkala dilakukan pemantauan terhadap kesehatan ternak, khususnya kesehatan reproduksinya. Selain itu diperlukan penanganan kesehatan hewan yang tertib mulai dari pedet hingga ternak melahirkan.
Permodalan
Untuk mempercepat pencapaian dilakukan kebijakan fasilitas permodalan yaitu pemberian kredit lunak (KKPE, BLMKIP, SP3) kepada para peternak dan investor yang akan menanamkan modalnya dibidang perbibitan dan penggemukan sapi potong, dan sumber permodalan lainnya.
Peningkatan Mutu Daging Sapi Potong
Dalam kaitan ini segara dilaksanakan kebijakan mendasar untuk pengembangan Rumah Potong Hewan (RPH) dengan melengkapi secara pendukungnya, dalam upaya penyediaan daging yang ASUH dan menjaring betina produktif yang dijual peternak untuk dipotong di RPH, sehingga dapat mempertahankan induk yang ada (agar tidak dipotong) dan mempunyai potensi untuk menambah populasi melalui anak yang dilahirkan.
Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014) merupakan tekad bersama dan menjadi salah satu dari program utama Kementerian Pertanian yang terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik khususnya ternak sapi potong. Swasembada daging sapi sudah lama didambakan oleh masyarakat agar ketergantungan terhadap impor baik sapi bakalan maupun daging semakin menurun dengan mengembangkan potensi dalam negeri.
Dengan berswasembada daging sapi tersebut akan diperoleh keuntungan dan nilai tambah yaitu : (1) meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan peternak; (2) penyerapan tambahan tenaga kerja baru; (3) penghematan devisa negara; (4) optimalisasi pemanfaatan potensi ternak sapi lokal; dan (5) semakin meningkatnya peyediaan daging sapi yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) bagi masyarakat sehingga ketentraman lebih terjamin.
Dalam rangka percepatan program swasembada daging, pemerintah telah meluncurkan program Upsus Siwab. Program ini merupakan cara pemerintah untuk menjaga populasi induk produktif dari pemotongan dan untuk meningkatkan jumlah induk produktif yang ada di masyarakat. Untuk program Upsus Siwab ini diatur dalam peraturan menteri pertanian RI nomor 48/permentan/PK.210/10/2016 tentang upaya khusus percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau bunting.


KESIMPULAN

1. Potensi dan pengembangan sapi potong sangatlah prospek, karena kebutuhan akan daging sapi selalu meningkat di setiap tahunnya.
2. Belum terealisasinya program swasembada daging sapi karena untuk pemenuhan di dalam negeri saja masih harus di ikuti impor daging beku.
3. Adanya program UPSUS SIWAB yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas indukan sapi dalam negeri dan mencegah pemotongan sapi induk produktif.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2016. Populasi sapi potong menurut propinsi tahun 2000 – 2016. http://www.bps.go.id/linktabledinamis/view/id/1016. Diakses : 05 oktober 2017.
Bamualim, A.M., B. Trisnamurti, dan C. Thalib. 2008. Arah Penelitian Pengembangan Sapi Potong di Indonesia. Jurnal pengembangan sapi potong untuk mendukung percepatan pencapaian swasembada daging sapi 2008 – 2010. Hal 4 – 12.
Buletin Konsumsi Pangan. 2014. Volume 5 (1) tahun 2014. Pusat data dan sistem informasi pertanian.
Kariyasa, K. 2005. Sistem integrasi tanaman – ternak dalam perspektif reorientasi kebijakan subsidi pupuk dan peningkatan pendapatan petani. Jurnal analisis kebijakan pertanian 3 (1) : 68 – 80.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/permentan/PK.210/10/2016. 2016. Upaya khusus percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau. Departemen Pertanian.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 54/permentan/OT.140/10/2006. 2006. Pedoman pembibitan sapi potong yang baik (good breeding practice). Departemen Pertanian.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 59/permentan/HK.060/8/2007. 2007. Pedoman percepatan pencapaian swasembada daging sapi. Departemen Pertanian.
Subandriyo.2004. Penjelasan plasma nutfah hewani sebagai aset dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Jurnal renstra program pengelolaan keanekaragaman hayati dan tanaman budidaya bapedalda propinsi papua.
Sugeng, Y.B. 2006. Sapi Potong. Jakarta : Penebar Swadaya.
Tawaf, R. Dan S. Kuswayan. 2006. Kendala kecukupan daging 2010. Hal. 173 – 185.
 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan. 2009. Peternakan dan Kesehatan Hewan.

laporan praktikum hijauan makanan ternak daya tampung, identifikasi, pembuatan silase, perkecambahan dan budidaya

PEMBAHASAN

A. Daya Tampung
Pada umumnya semakin tua hijauan waktu dipotong, maka kadar serat kasar akan meningkat dan kadar protein akan menurun karena makin meningkatnya senyawa – senyawa bukan protein. Sebaliknya bertambahnya umur, produksi makin meningkat pada akhirnya menyebabkan kandungan dan produksi protein semakin lambat suatu tanaman dipotong, kandungan serat kasarnya semakin meningkat dan nilai nutrisinya semakin menurun. Semakin panjang interval defoliasi, makin rendah kadar protein sedangkan kadar seratnya semakin meningkt. Oleh karena itu, maka perlu diatur jarak antara pemotongan pertama dan selanjutnya, jarak defoliasi pada musim penghujan sebaiknya 40 hari dan musim kemarau 60 hari.
Pada praktikum pengukuran daya tampung, dilakukan pemotongan rumput kinggras dengan tinggi pemotongan 10 cm di atas permukaan tanah. Hasil yang didapatkan dari 1 m2 sebanyak 7,215 kg.
Defoliasi dilakukan dengan tinggi batang yang ditinggalkan 10 cm dari tanah karena tinggi rendahnya batang yang ditinggalkan saat dofoliasi sangat berpengaruh. Semakin pendek bagian tanaman yang ditinggalkan maka pertumbuhan kembali (regrowth) tanaman tersebut akan semakin lambat karena persediaan energi dan pati yang tinggal semakin sedikit. Demikian juga sebaliknya, jika saat defoliasi bagian tanaman yang ditinggalkan terlalu tinggi juga tidak baik karena hanya akan memberikan kesempatan terhadap pertumbuhan tunas batang saja tetapi pertumbuhan anakan tidak bisa berkembang sehingga tidak adanya pertumbuhan anakan yang akan menambah volume tanaman tetapi hanya pertambahan tinggi batang saja.
B. Identifikasi Hijauan Makanan Ternak
Hijauan makanan ternak merupakan salah satu bahan pakan dasar dan utama untuk mendukung peternakan ternak ruminansia, terutama bagi peternak sapi potong  ataupun sapi perah yang setiap harinya membutuhkan cukup banyak hijauan. Kebutuhan hijauan akan semakin banyak sesuai dengan bertambahnya jumlah populasi ternak yang dimiliki.
Ada beberapa kelompok tanaman hijauan makanan ternak yaitu rumput (graminae), Leguminosa dan tumbuh – tumbuhan lainnya. Pada praktikum ini hijauan makanan ternak yang diamati yaitu :
Rumput Gajah (pennisetum purpureum)
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh bahwa rumput gajah bertipe tumbuh erect, habitat pertumbuhan tegak lurus, bentuk batang bulat, daun dan batang berbulu pendek, dan daun berbentuk perenial. Menurut yahya (2002) bahwa rumput gajah secara umum merupakan tanaman tahunan yang berdiri tegak, berakar dalam, tinggi batang mencapai 2 – 4 meter, tumbuh membentuk rumpun, pelepah daun gundul hingga garis berbulu pendek, helai daun bergaris dengan dasar lebar, ujungnya runcing.
Rumput Raja (pennisetum purpupoides)
Rumput raja merupakan hasil persilangan antara rumput gajah (pennisetum purpureum) dan cantel (pennisetum typhoides. Rumput ini mudah ditanam, dapat tumbuh di dataran tinggi hingga rendah, produksi lebih tinggi dibandingkan dengan rumput gajah, ciri – cirinya sama dengan rumput gajah, perbedaannya yaitu daun berbulu dan pinggiran daun tajam, warna hijau tua dengan bentuk daun panjang dan agak tipis dimana tulang daun kecil dan sejajar.
Star Grass (cynodon plectostachyus)
Berasal dari afrika timur, ditanam dengan pols serta stolon. Bisa hidup pada seluruh jenis tanah dengan ketinggian yang cocok pada dataran rendah. Rumput ini tumbuh tegak serta menjalar, pada bagian stolonnya tumbuh rapat dengan tanah, pada buku stolon tumbuh akar yang kuat, rumput ini tahan injak dan renggut. Merupakan rumput padang penggembalaan.
Brachiaria Brizantha
Brachiaria brizantha merupakan jenis tanaman tahunan dan memiliki sedikit rhizoma yang pendek dan batang tegak atau sedikit menjalar dengan tinggi 60 sampai 150 cm. Rumput ini tumbuh didaerah tropik yang lembab dan sangat responsif terhadap peningkatan kesuburan tanah. BB mempunyai tipe tumbuh erect, memiliki ligule yang berwarna putih dan tidak berbulu, sertaauricle yang juga tidak berbulu.
Lamtoro (leucaena leucocephala)
Lamtoro berasal dari amerika selatan, tumbuh tegak dengan sudut pangkal antara batang dengan cabang 450. Daunnya kecil, tulang daun menyirip ganda dengan jumlah 4 – 8 pasang, tiap sirip tangkai daun mempunyai 11 – 22 helai anak daun. Bunganya merupakan bunga bangkol atau membulat, berbentuk bola dan berwarna putih.lamtoro merupakan hijauan pakan yang sering diberikan kepada ternak tetapi mengandung zat anti nutrisi yaitu mimosin. Untuk mengurangi kandungan mimosin, lamtoro harus dijemur sehari lebih dahulu sebelum diberikan ke ternak.
Gamal (gliricidia sepium)
Gamal memiliki ciri – ciri yaitu warna daun hijau, tulang daun menyirip, jumlah daun ganjil, tekstur lembut. Batang panjang, keras dan bercabang. Gamal biasanya ditanam sebagai pagar hidup.
Putri Malu (mimosa pudica)
Putri malu merupakan salah satu tanaman perdu pendek yang masih dalam kelompok dan suku polong – polongan yang mudah dikenal dengan tanaman yang menutup daun – daunnya secara cepat dengan sendirinya saat disentuh. Daun putri malu berupa daun majemuk yang menyirip ganda dua sempurna,batang berbentuk bulat dan diselimuti duri, dan memiliki bunga bulat.
Centro (centrosema pubescens)
Merupakan tanaman jenis leguminosa semak asal amerika selatan tropis yang memiliki fungsi sebagai tanaman penutup tanah, tanaman sela, dan pencegah erosi. Batang panjang, dan sering berakar pada bukunya, tiap tangkai berdaun tiga lembar berbentuk elips dengan ujung tajam dan bulu halus pada permukaannya, bunga berbentuk tandan berwarna ungu muda bertipe kupu – kupu.
Turi (sesbania grandiflora)
Turi merupakan tanaman bertipe tumbuh erect, tipe daun paripinate, tipe bunga kupu – kupu. Turi dapat tumbuh pada tanah yang tidak subur dan dapat tumbuh pada tanah yang banyak genangan air. Tumbuh hingga mencapai 10 meter. Turi biasanya dimanfaatkan sebagai pohon pelindung.
Randu (ceiba pentandra)
Randu merupakan pohon tropis yang tergolong ordo malvales dan famili malvaceae. Berasal dari bagian utara amerika selatan, amerika tengah, dan karibia. Tumbuh hingga ketinggian 60 – 70 m, akar menyebar horizontal di permukaan tanah, batang bercabang, kadang berduri.
Odot (pennisetum purpureum cv. molt)
Odot merupakan rumput gajah dengan varietas molt. Tinggi dapat mencapai 2 meter dengan buku ruas lebih pendek dari rumput gajah. Odot memiliki tribus paniceae, akar serabut, habitat erect dan mata tunas pendek.
Setaria (setaria sphacelata)
Setaria memiliki ciri – ciri yaitu berakar serabut, daun panjang dan melengkung, memiliki batasan daun diantara pucuk daun yang melengkung dan berwarna hijau. Setaria dapat dikembangkan dengan dengan cara merecah akarnya. Ciri khas dari rumput ini adalah  pada bawah batangnya berwarna merah, rumput ini juga dapat bersimbiosis dengan mikroba yang dapat memfiksasi nitrogen.
Rumput Meksiko (euchlaena mexicana)
Rumput meksiko mudah tumbuh pada tanah yang lembab dan subur. Rumput ini tidak tahan terhadap kekeringan. Ciri – cirinya yaitu batang kaku dan tegak serta beruas pendek – pendek menyerupai tanaman jagung, tinggi dapat mencapai 5 meter, daun berwarna hijau dan kaku. Bunga berwarna kecoklatan berbentuk mayang seperti bunga jagung.
C. Silase
Berdasarkan hasil praktikum warna dari silase  rumput raja diperoleh hasil  berwarna kehijau-hijauan. Hal ini menunjukkan bahwa silase memiliki kualitas yang baik pada. Sesuai dengan pendapat Febrisiantosa (2007) yang menyatakan bahwa silase yang berkualitas baik mempunyai ciri-ciri teksturnya tidak berubah, tidak menggumpal, berwarna hijau seperti daun direbus, berbau dan berasa asam. Ditambahkan oleh pernyataan   Susetyo et al., (1980) menyatakan  bahwa silase yang baik memiliki warna yang tidak jauh berbeda dengan warna bahan dasar itu sendiri, memiliki pH rendah dan baunya asam.
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh bau dari silase campuran rumput raja memiliki kualitas yang baik karena berbau harum. Sesuai dengan pendapat Utomo (1999) menambahkan bahwa aroma silase yang baik agak asam, bebas dari bau manis, bau ammonia, dan bau H2S. Silase dengan atau tanpa penambahan starter 24 memiliki aroma cenderung asam, sehingga setiap perlakuan yang berbeda tidak mempengaruhi aroma silase.
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil pengamantan jamur dari silase rumput raja diperoleh hasil itu baik tapi tidak baik sekali karena silase tersebut masi terdapat sedikit  jamur. Hal   ini   sesuai   dengan Departemen pertanian, 1980 silase yang berkualitas sangat baik tidak memiliki jamur dan yang baik ada sedikit jamur yang terdapat pada silase. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas silase seperti asal atau jenis hijauan, temperatur penyimpanan, tingkat pelayuan sebelum pembuatan silase, tingkat kematangan atau fase pertumbuhan tanaman, bahan pengawet, panjang pemotongan, dan kepadatan hijauan dalam silo. Ditambahkan oleh pendapat Zailzar et al. (2011) bahwa ciri-ciri silase yang baik yaitu berbau harum agak kemanis-manisan, tidak berjamur, tidak menggumpal, berwarna kehijau-hijauan dan memiliki pH antara 4 sampai 4,5.
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil pengamantan tekstur dari silase rumput raja diperoleh hasil saat di buka tekstur silase tersebut masih utuh, remah dan lembut. Hal ini sependapat dengan Zailzar et al. (2011) bahwa ciri-ciri silase yang baik yaitu berbau harum dan bertekstur remah.
Berdasarkan hasil praktikum tidak dilakuan pengukuran pH dari silase, memiliki pH 4,5 yang berarti kualitas silase baik, itu sesuai menurut Departemen Pertanian, 1980 yaitu silase yang baik memiliki pH  4,2-4,5 sedang silase yang sangat baik yaitu memiliki Ph 3,2 – 4, 2. Hal ini karena terjadi proses fermentasi. Nilai pH yang baik untuk pembuatan silase yang baik adalah 4,5 sedangkan kadar bahan keringnya berkisar 28—35% (Bolsen et al., 1978). Pengukuran pH silase dilakukan menggunakan pH meter digital setelah silase dipanen. Sebelum dilakukan penetapan pH, sampel diberi aquades dengan perbandingan antara sampel dan aquades adalah 1 : 10 (Nahm, 1992).

D. Perkecambahan
Perkecambahan merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan embrio atau munculnya plantula (tumbuhan kecil dari dalam biji). Perubahan embrio saat perkecambahan umumnya adalah radikula tumbuh dan berkembang menjadi akar, selanjutnya plantula tumbuh dan berkembang menjadi batang dan daun. Tujuan dari perkecambahan ini adalah untuk mengetahui daya tumbuh benih yang akan ditanam. Jadi dengan mengetahui persentase daya tumbuh, maka kebun atau tanah untuk area penanaman dengan luas tertentu dapat diketahui terlebih dahulu.
Proses perkecambahan dimulai ketika biji menyerap air. Air menyebabkan pecahnya lapisan luar biji dan mendorong hormon dan enzim aktif bekerja. Enzim akan mengambil oksigen untuk metabolisme sel, sehingga berlangsung proses oksidasi makanan dalam endosperm biji hasil pertumbuhan biji.
Faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih adalah faktor dari dalam dan faktor dari luar. Faktor dari dalam meliputi tingkat kemasakan benih, jenisbenih, ukuran benih, dormansi, dan penghambatan perkecambahan. Sedangkan faktor dari luar yaitu air, temperatur, oksigen, cahaya, dan media yang digunakan.
Kriteria kecambah normal yaitu kecambah yang mempunyai akar primer dan mempunyai minimal 2 akar seminal, hipokotil berkembang dengan baik tanpa ada kerusakan, pertumbuhan pumula sempurna, memiliki 2 kotiledon bagi tanaman dikotil, plumula berputar dan hipokotil membengkok.
Tujuan dari pengamplasan adalah untuk mempertipis kulit biji agar air dan oksigen bisa masuk kedalamnya. Hal ini terbukti bahwa pada biji turi yang dimplas menunjukkan adanya proses perkecambahan dengan baik.
Dari hasil praktikum yang dilakukan diperoleh bahwa biji yang ditanam tidak mengalami pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena kesalahan dalam perlakuan bibit sebelum ditanam.
E. Budidaya
 Rumput kinggras sebagian besar ditanam sebagai rumput potong dan tidak cocok ditanam sebagai rumput padang penggembalaan. Pada praktikum budidaya yang dilakukan diperoleh hasil pertumbuhan rumput kinggras pada minggu pertama memiliki tinggi 17 - 20 cm, dan pada minggu kedua pengukuran dilakukan pada hari ke 10 didapatkan tinggi rata – rata 30 - 40 cm. Pertumbuhan rumput kurang maksimal dikarenakan pada saat penanaman hanya menggunakan media tanam dan pada masa perawatan tidak diberi pupuk.
Faktor – faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput kinggras yang dilakukan  yaitu faktor lingkungan, pemupukan, perawatan, suplai air, suplai cahaya, unsur hara, dan suhu.
Daun tanaman yang terakhir dilakukan pengamatan yaitu berjumlah 6 – 8 helai. Jumlah daun mempengaruhi pertumbuhan karena pada daun terjadi proses fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari. Laju pertumbuhan tanaman secara linear berhubungan dengan nilai substrat hasil fotosintesis yang tersedia untuk pertumbuhan. Hal ini tergantung pada jumlah jaringan fotosintesa. Tekanan cahaya bisa menimbulkan respon fisiologis seperti berubahnya ukuran daun  dan tinggi tanaman. Selain itu tinggi tanaman akan lebih cepat naik pada tempat yang teduh atau ternaungi.



KESIMPULAN
Dari praktikum yang dilakukan dapat disimpulkan :
1. Pada praktikum pengukuran daya tampung, dilakukan pemotongan rumput kinggras dengan tinggi pemotongan 10 cm di atas permukaan tanah. Hasil yang didapatkan dari 1 m2 sebanyak 7,215 kg.
2. Ada beberapa kelompok tanaman hijauan makanan ternak yaitu rumput (graminae), Leguminosa dan tumbuh – tumbuhan lainnya. Pada praktikum ini hijauan makanan ternak yang diamati yaitu : Rumput Gajah (pennisetum purpureum), Rumput Raja (pennisetum purpupoides), Rumput Bintang ( star grass), Brachiaria Brizanta, Lamtoro ( Leucaena Leuchepala), Gamal (Gliricidia Sepium), Putri Malu ( Mimosa Pudica), Centrosema Pubercent, Turi ( sesbania grandiflora), Randu (ceiba pentranda), Odot ( pennisetum purpureum cv. molt), Setaria, dan Rumput Meksiko (euchlaena mexicana).
3. Silase yang baik mempunyai ciri-ciri teksturnya tidak berubah, tidak menggumpal, berwarna hijau seperti daun direbus, berasa asam, berbau harum agak kemanis-manisan, tidak berjamur, tidak menggumpal, berwarna kehijau-hijauan dan memiliki pH antara 4 sampai 4,5.
4. Perkecambahan merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan embrio atau munculnya plantula (tumbuhan kecil dari dalam biji). Perubahan embrio saat perkecambahan umumnya adalah radikula tumbuh dan berkembang menjadi akar, selanjutnya plantula tumbuh dan berkembang menjadi batang dan daun. Tujuan dari perkecambahan ini adalah untuk mengetahui daya tumbuh benih yang akan ditanam.
5. Cara pengembangbiakan utama tanaman rumput adalah dengan vegetatif, transisi, dan reproduktif. Fase vegetatif, batang sebagian besar terdiri atas helaian daun. Leher helaian ddaun tetap terletak didasar batang, tidak terjadi pemanjangan selubung daun atau perkembangan kulmus, sebagai respon terhadap temperatur dan panjang hari kritis, meristem aplikal secara grandual berubah dari tunas vegetatif menjadi tunas bunga. Hal ini disebut induksi pembungaan. Fase perubahan ini disebut dengan fase transisi. Selama fase transisi helaian daun mulai memanjang. Fase reproduktif dimulai dengan perubahan ujung batang dai kondisi vegetatif ke tunas bunga (soetrisno et al., 2008).






DAFTAR PUSTAKA
AAK. 1983. Hijauan Makanan Ternak Potong, Kerja, dan Perah. Yogyakarta : Yayasan Kanisius.
Copeland, L. O. dan M. B. McDonald. 2001. Seed science and technology 4th edition. London : Kluwer Academic Publisher.
Hanson,A dan M.W. Evans Hughes. 1996. Healt Metcalfe (Eds) Forager. USA : Lowa State Universt Press.
Kamil, M. 1983. Tingkat Kesuburan Tanah untuk Pertanian Tropika. Jakarta: CV. Rajawali.
Mcllroy, R.J. 1964. Tropical Grassland husbandry. London: Oxford Univ. Press.
Parakkasi, Aminudin. 2009. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Jakarta : UI press.
Pratomo, B. 1986. Cara Menyusun Ransum Ternak. Yogyakarta : Poultry Indonesia.
Reksohadiprodjo, S. 1980. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Yogyakarta: BPFE.
Reksohadiprodjo, Soedomo. 1995. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. Yogyakarta : Gadjah Mada University.
Ross, G. D. 1984. The Microbiology of Silage. Hawkesbury Agricultural Research Unit, New South Wales Departement of Agricultural, New Jersey.
Sapienza, D. A dan K. K. Bolsen. 1993. Teknologi Silase. Terjemahan : Martoyoedo RBS. Pioner-Hi-Berd International, Inc. Kansas State University, England.
Soetrisno, Djoko, Bambang S., Nafiatul U., Nilo Suseno. 2008. Ilmu Hijauan Makanan Ternak. Yogyakarta: Fakultas Peternakan UGM.
Susetyo, S. 1980. Padang Penggembalaan. Bogor: Departemen ilmu makanan ternak, IPB.
Sutopo, A. 1988. Teknologi Benih. Jakarta: CV. Rajawali.
Sutaryono, Yusuf, dan Partridge Ian J. 2002. Mengelola padang rumput alam di indonesia tenggara. Lombok : Universitas Mataram.
Syarifuddin, N. A. 2001. Karakteristik dan Persentase Keberhasilan Silase Rumput Gajah pada Berbagai Umur Pemotongan. Fakultas Pertanian Universtas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
Widyastuti, Y. 2008. Fermentasi Silase dan Manfaat Probiotik Silase bagi Rouminansia. Media Peternakan. 31 (3) : 225-232.
Yahya. 2002. Ilmu Pertanian. Jakarta : Erlangga.

praktikum hijauan makanan ternak identifikasi, daya tampung dan silase

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Peternakan di indonesia mengalami masalah yang diantaranya yaitu makanan ternak yang belum bisa mencukupi kebutuhan dan rendahnya kualitas pakan yang ada di indonesia. Produksi ternak dapat dinaikkan apabila pengelolaan ternak dan pakan ternakdilakukan dan disediakan dengan tepat. Kenaikan produksi ternak ditandai dengan penggunaan makanan ternak. Konsentrat yang tinggi jumlahnya dan ini hanya mungkin dilaksanakan apabila imbangan harga makanan dan harga produksi ternak berupa air susu atau daging masih memadai. Produksi ternak makin turun apabila ternak deekat ekuator. Usaha – usaha pertanian sangat menentukan berhasil tidaknya usaha peternakan, terutama dalam penyediaan tanaman bahan pangan cukup dan kualitas tinggi yang menunjang produksi ternak yang tinggi.
Rumput atau hijauan merupakan kebutuhan pokok untuk ternak yang wajib terpenuhi, karena hijauan merupakan makanan bagi ternak yang berperan sebagai faktor penunjang kelangsungan hidup ternak itu sendiri. kemajuan usaha peternakan membutuhkan kemajuan usaha tani padang rumput, karena rumput merupakan makanan termurah bagi ternak herbivora secara umum dan ternak ruminansia secara khususnya. Makanan yang diberikan kepada ternak umumnya 70 – 90% hijauan dan 10 – 30% konsentrat.
Kebanyakan makanan ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis secara garis besar yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar  yang relatif banyak pada bahan keringnya. Hijauan dapat dibagi lagi menjadi hijauan kering dan hijauan segar, dimana hijauan segar mengandung banyak air. Sumber terbanyak dari hijauan adalah rumput – rumputan (AAK,1983).
Secara teknis diketahui bahwa ruminansia mempunyai potensi biologis untuk dapat menggunakan hijauan dengan baik sebagai bahan makanan utamanya. Hijauan terutama rumput relatif lebih mudah ditanam atau dipelihara sehingga harga sumber energi lebih murah dibandingkan dengan tanaman sumber karbohidrat lainnya. Akan tetapi dilain pihak, hewan dapat mengadaptasi diri terhadap berbagai keadaan lingkungan termasuk pemeliharaan intensif apalagi dibantu dengan proses seleksi (Pratomo, 1986).
Rumput merupakan tumbuhan monokotil dengan siklus hidup annual dan perennial. Rumput mempunyai sifat tumbuh yaitu dengan membentuk rumun, tanaman dengan batang merayap pada permukaan, tanaman horisontal tetapi batang tumbuh ke atas dan rumput membelit (soedomo, 2000).
Bentuk sederhana, perakaran silindris, menyatu dengan batang, lembar daun berbentuk pelepah yang muncul pada buku – buku dan melingkari batang (Reksohadiprodjo, 2000).
Pakan merupakan kebutuhan pokok bagi makhluk hidup, khususnya ternak. Sehingga harus selalu terpenuhi ketersediaannya untuk menunjang hidup ternak. Ketersediaan pakan di alam cukup melimpah, namun pemanfaatannya belum maksimal. Pentingnya pakan dalam kebutuhan ternak untuk memenuhi hidup pokok seekor ternak. Saat ini kualitas pakan di Indonesia sangat rendah sehingga untuk mengatasi rendahnya kualitas pakan perlu adanya pengolahan tambahan untuk meningkatkan kualitas pakan. Pada praktikum Teknologi Pengolahan Pakan ini, mahasiswa belajar cara meningkatkan kualitas bahan pakan, sehingga pemanfaatannya dapat optimal, serta setiap hijauan yang berpotensi sebagai pakan dapat dimanfaatkan. Pengolahan pakan berupaya meningkatkan kandungan nutrisi tersebut dengan beberapa perlakuan, seperti; amoniasi, silase dan fermentasi. Proses amoniasi dengan penambahan urea, silase dengan penambahan bekatul sedangkan fermentasi dengan penambahan bekatul. Fungsi amoniasi yaitu untuk mengubah struktur bahan pakan yang keras menjadi lebih remah, silase bertujuan untuk meningkatkan kandungan nutrsi bahan pakan agar dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama dan fermentasi untuk mengawetkan bahan pakan.
Pengawetan hijauan pakan atau limbah pertanian dalam bentuk silase merupakan salah satu alternative yang dapat ditempuh terutama untuk mengatasi kesulitan pengadaan pakan di daerah yang mengalami musim kemarau panjang. Perubahan musim akan mempengaruhi kualitas hijauan pakan yaitu hilangnya fraksi yang mudah larut atau fraksi non structural akibat respirasi yang meningkat dan penurunan netto fotosintesis.
Pengawetan hijauan sepeti silase diharapkan dapat mengatasi permasalahan kekurangan hijauan segar terutama pada musim kemarau yang selanjutnya dapat memperbaiki produktivitas ternak. Produktivitas ternak merupakan fungsi dari ketersediaan pakan dan kualitasnya. Ketersediaan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya suhu harian, iklim, dan ketersediaan air tanah. Faktor tersebut sangat mempengaruhi ketersediaan hijauan pakan ternak yang diharapkan kontinyu sepanjang tahun (Ridwan dan Widyastuti, 2001).
Pakan hijauan merupakan semua bahan pakan yang berasal dari  tanaman dalam bentuk daun – daunan. Kelompok tanaman ini adalah graminae, leguminosa, dan tumbuh – tumbuhan lainnya. Kelompok hijauan biasa disebut makanan kasar. Hijauan yang diberikan ke ternak ada dalam bentuk segar dan hijauan kering. Hijauan segar adalah makanan yang berasal dari hijauan dan diberikan dalam bentuk segar. Sedangkan hijauan kering adalah hijauan yang diberikan ke ternak dalam bentuk hay atau disebut juga jerami kering.
Hijauan segar dan hijauan kering dapat dibudidayakan dengan memperhatikan mutu hijauan tersebut yaitu sifat genetik dan lingkungan agar dapat memenuhi kebutuan nutriensetiap ternak dan membantu peternak mengatasi kesulitan dalam pengadaan makanan ternak. Dalam mengusahakan tanaman makanan ternak untuk mendapatkan hijauan yang produktivitasnya tinggi maka perlulah tanaman makanan ternak diusahakan secara maksimal mulai dari pemilihan lokasi, pemetaan wilayah, pengelolaan tanah, pemilihan bibit, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, panen, dan usaha – usaha untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu sampai dengan penanganan hijauan sebelum dikonsumsi ternak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Daya Tampung
Hijauan merupakan makanan utama bagi ternak ruminansia, baik dari segi banyaknya maupun mutunya, sebagai  sumber zat – zat makanan yang dibutuhkan untuk seluruh proses hidupnya terutama yang bisa dimanfaatkan langsung oleh ternak, misalnya untuk laju pertumbuhan yang cepat dan tercapainya bobot hidup tertentu dalam waktu singkat (Susetyo, 1980).
Mutu hijauan makanan ternak pada setiap tempat akan berbeda menurut daerah atau jenis tanahnya. Hal inimasing – masing dipengaruhi oleh subur tidaknya tanah, kaya tidaknya unsur hara yang terdapat didalamnya. Semakin tanah kaya akan unsur hara, semakin tanaman hijauan akan menjadi subur, bermutu, dan berproduksi tinggi. Produksi hijauan sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : kemampuan bertahan hidup dan berkembang biak secara vegetatif, agresifitas, kemampuan untuk tumbuh kembali setelah terjadi penginjakan ataupun setelah ada penggembalaan ternak, penyebaran produksi musiman, tahan kering dan dingin, kesuburan tanah, dan iklim (mcllroy, 1997).
Kapasitas tampung adalah kemampuan padang penggembalaan untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang dibutuhkan oleh sejumlah ternak yang digembalakan dalam luasan satu hektar atau kemampuan padang penggembalaan untuk menampung ternak per hektar (reksohadiprodjo, 1985).
Daya tampung padang penggembalaan tergantung pada kemiringan lahan, jarak dengan sumber air, kecepatan pertumbuhan/ produksi tanaman pakan, kerusakan lahan, ketersediaan hijauan yang dapat dikonsumsi, nilai nutrisi pakan, variasi musim, dan keadaan ekologi padang penggembalaan (Susetyo, 1980).
B. Identifikasi Hijauan Makanan Ternak
Hijauan pakan adalah bahan makanan yang mengandung serat kasar 18% atau lebih (dihitung dari bahan kering). Angka batasan ini hanya sekedar patokan, karena di dalam prakteknya sering didapatkan hal – hal yang berada di luar batasan ini. Kualitas hijauan sangat bervariasi yang disebabkan oleh beberapa perbedaan dalam spesies, umur, kesuburan tanah, sumber – sumber air dan lain sebagainya (Hanson et al, 2006).
Rumput adalah tanaman yang paling efisien untuk merubah sinar matahari menjadi biomassa dan pada saat yang sama mengkonversi karbondioksida menjadi oksigen. Ternak ruminansia dapat mengubah biomassa ini, yang umumnya tidak dapat dicerna oleh manusia menjadi protein berkualitas tinggi melalui aktivitas mikroorganisme dalam rumen. Rumput – rumput memberikan  tutupan tanah yang baik untuk mengurangi erosi sementara akar yang sangat halus akan membentuk bahan organik dan membantu penyusupan air ke dalam tanah (Sutaryono et al, 2002).
Pertumbuhan tanaman rumput. Cara pengembangbiakan utama tanaman rumput adalah dengan vegetatif, transisi, dan reproduktif. Fase vegetatif, batang sebagian besar terdiri atas helaian daun. Leher helaian daun tetap terletak di dasar batang, tidak terjadi pemanjangan selubung daun atau perkembangan kulmus, sebagai respon terhadap temperatur dan panjang hari kritis, meristem apikal secara gradual berubah dari tunas vegetatif menjadi tunas bunga. Hal ini disebut induksi pembungaan. Fase ini disebut fase transisi. Selam fase transisi helaian daun mulai memanjang. Fase reproduktif dimulai dengan perubahan ujung batang dari kondisi vegetatif ke tunas bunga (Soetrisno et al., 2008).

Pertumbuhan tanaman legum. Tanaman legum tumbuh dengan cara tipe semak, tipe berkas, batang bersifat tegak atau decumbent, serambling, dan roset. Tipe semak yaitu sebuah tangkai sentral dengan cabang – cabang samping muncul sepanjang batang utama dengan cabang aksiler. Tipe berkas yaitu sebuah tangkai yang darinya muncul beberapa batang dan tunas baru sehingga sulit mengidentifikasi batang utama. Batang bersifat tegak, merambat yaitu batang berkembang menjalar di atas permukaan tanah. Serambling adalah banyak tanaman yang merambat tumbuh merambat tumbuh memanjat dan melingkari obyek yang tinggi. Roset adalah bentuk vegetatif beberapa tanaman perennial berkembang setelah berbunga (Soetrisno et al., 2008).
Tanaman legum di daerah tropis berdasarkan lingkungannya dibedakan menjadi beberapa macam. Di lingkungan tropis basah banyak ditumbuhi oleh legum jenis kalopo, centrosema, dan dismodium. Di lingkungan tergenang sementara terdapat rumput spesies pahaseolus lathyroides. Di lingkungan tropis terdapat rumput – rumputan jenis stylosantes, dolichos, cajanus, medicago, dan trifolium yang mempunyai sifat tumbuh annual. Sedangkan di daerah pegunungan terdapat jenis rumput trifolium, jenis ini biasanya memerlukan air yang cukup banyak (Reksohadiprodjo, 1995).
Leguminosa sering digunakan oleh peternak untuk tujuan tertentu, disamping sebagai sumber zat – zat pakan. Apabila dicampur dengan graminae akan baik karena merupakan gabungan antara bahan pakan yang kaya akan zat – zat  pakan dan sifat mengisi dari graminae. Legum mengandung serat yang dibutuhkan ternak dan juga protein serta zat hijau (Parakkasi, 2009).
C. PEMBUATAN SILASE
Silase adalah proses pengawetan hijauan pakan segar dalam kondisi anaerob dengan pembentukan atau penambahan asam. Asam yang terbentuk yaitu asamasam organik antara lain laktat, asetat, dan butirat sebagai hasil fermentasi karbohidrat terlarut oleh bakteri sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan derajat keasaman (pH). Turunnya nilai pH, maka pertumbuhan mikroorganisme pembusuk akan terhambat (Stefani et al., 2010).
Kualitas silase tergantung dari kecepatan fermentasi membentuk asam laktat, sehingga dalam pembuatan silase terdapat beberapa bahan tambahan yang biasa di istilahkan sebagai additive silage. Macam - macam additive silage seperti water soluble carbohydrat, bakteri asam laktat, garam, enzim, dan asam. Penambahan bakteri asam laktat ataupun kombinasi dari beberapa additive silage merupakan perlakuan yang sering dilakukan dalam pembuatan silase. Pemilihan bakteri asam laktat sangat penting dalam proses fermetasi untuk menghasilkan silase yang berkualitas baik. Proses 8 awal dalam fermentasi asam laktat adalah proses aerob, udara yang berasal dari lingkungan atau pun yang berasal dari hijauan menjadikan reaksi aerob terjadi. Hasil reaksi aerob yang terjadi pada fase awal fermentasi silase menghasilkan asam lemak volatile, yang menjadikan pH turun (Stefani et al., 2010).
Pembuatan silase dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:
hijauan yang cocok dibuat silase adalah rumput, tanaman tebu, tongkol gandum, tongkol jagung, pucuk tebu, batang nenas, dan jerami padi.
penambahan zat aditif untuk meningkatkan kualitas silase. Beberapa zat aditif adalah limbah ternak (manure ayam dan babi), urea, air, dan molases. Aditif digunakan untuk meningkatkan kadar protein atau karbohidrat pada material pakan. Biasanya kualitas pakan yang rendah memerlukan aditif untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak.
kadar air yang tinggi berpengaruh dalam pembuatan silase. Kadar air yang berlebihan menyebabkan tumbuhnya jamur dan akan menghasilkan asam yang tidak diinginkan seperti asam butirat. Kadar air yang rendah menyebabkan suhu menjadi lebih tinggi dan pada silo mempunyai resiko yang tinggi terhadap kebakaran (Pioner Development Foundation, 1991).
Proses fermentasi silase memiliki 3 tahapan, yaitu:
Fase aerobik, normalnya fase ini berlangsung sekitar 2 jam yaitu ketika oksigen yang berasal dari atmosfer dan yang berada diantara partikel tanaman berkurang. Oksigen yang berada diantara partikel tanaman digunakan oleh 9 tanaman, mikroorganisme aerob, dan fakultatif aerob seperti yeast dan enterobacteria untuk melakukan proses respirasi.
Fase fermentasi, fase ini merupakan fase awal dari reaksi anaerob. Fase ini berlangsung dari beberapa hari hingga beberapa minggu tergantung dari komposisi bahan dan kondisi silase. Jika proses silase berjalan sempurna maka bakteri asam laktat sukses berkembang. Bakteri asam laktat pada fase ini menjadi bakteri predominan dengan pH silase sekitar 3,8—5.
Fase stabilisasi, fase ini merupakan kelanjutan dari fase kedua; fase feed-out atau fase aerobik. Silo yang sudah terbuka dan kontak langsung dengan lingkungan maka akan menjadikan proses aerobik terjad

boneles broiler dan uji kualitas daging

Boneless broiler dan uji kualitas daging
Disusun oleh : kusworo

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kualitas suatu produk sangat menentukan tingkat keberhasilan usaha produk tersebut. Hal ini juga berlaku pada produk daging. Daging dengan kualitas yang baik akan lebih digemari oleh konsumen. Kualitas daging salah satunya dapat dilihat dari sifat fisik daging tersebut. Pengujian sifat fisik daging diantaranya dilakukan dengan pengujian pH daging, daya mengikat air, susut masak dan keempukan daging.
Sifat fisik daging mempengaruhi kualitas pengolahan daging. Daging yang memiliki kualitas sifat fisik yang bagus tentunya akan memberikan produk pengolahan yang bagus dan akan mempermudah selama proses pengolahannya. Penentuan kualitas sifat fisik daging perlu dilakukan dengan benar dan teliti sehingga menghasilkan data yang akurat. Untuk itu diperlukan keahlian dan keterampilan serta pemahaman lanjut tentang cara dan metode pengujian ini.
Pengolahan, penyimpanan dan pengawetan daging akan mempengaruhi sifat daging ini, sehingga ketika daging akan digunakan kembali akan berbeda dengan jika menggunakan daging segar. Untuk menghindari perubahan sifat fisik yang terlalu besar diperlukan pengetahuan tentang faktor yang mempengaruhi perubahan sifat fisik daging tersebut.

Tujuan
1. Mengetahui cara pemotongan ayam yang baik dan benar sehingga menghasilkan kualitas karkas yang baik.
2. Mengetahui proses penyiapan ayam dari penyembelihan sampai dengan proses parting.
3. Mengetahui cara melakukan uji kualitas daging.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DAGING
Daging segar merupakan daging yang baru dipotong, belum mengalami pengolahan lebih lanjut dan belum disimpan untuk waktu yang lama. Daging segar cenderung memiliki kualitass kandungan nutrisi dan penampakan lebih baik. Hal ini terjadi karena daging belum mengalami pengolahan lebih lanjut dan belum disimpan lama. Indikator yang dapat dijadikan kualitas daging ini adalah kekenyalan, warna daging, bau dan tekstur. Selain itu, daging segar tidak berlendir, tidak terasa lengket di tangan dan terasa kebasahannya (Deptan, 2001).
Daging beku adalah daging yang telah mengalami penyimpanan pada suhu dingin. Tujuan penyimpanan ini adalahuntuk mengawetkan atau agar daging tersebut bisa digunakan dalam jangka waktu yang cukup lama. Daging dalam kondisi seperti ini akan mengalami perubahan sifat fisik akibat pengaruh suhu yang dingin.
Karkas ayam dibuat klasifikasinya berdasarkan bagian-bagian tubuh (Rasyaf, 2003). Selama proses pengolahan akan terjadi kehilangan berat hidup kurang lebih 1/3 bagian (berat daging siap masak itu nantinya kurang lebih 2/3 dari berat hidupnya) karena bulu, kaki, cakar, leher, kepala, jeroan atau isi dalam dan ekor dipisah dari bagian daging tubuh dengan demikian daging siap masak itu hanya tinggal daging pada bagian tubuh tambah dengan siap masak itu 75% dari berat hidup (Rasyaf, 2003).
Persentase bagian non karkas pada ayam broiler untuk setiap umur berbeda-beda yaitu pemotongan 8 minggu persentase karkasnya untuk jantan 64,6%, kepala dan leher 6,5%, kaki 3,3%, hati 2,6%, ampela 4,4%, jantung 0,6%, usus 6,6%, darah 5,4%, dan bulu 6,0%. Untuk betina karkas 71%, kepala dan leher 4,8%, kaki 4,5%, hati 3,1%, ampela 5,6%, jantung 0,6%, usus 0,5%, darah 4,2% dan bulu 9,6% (Murtidjo, 2003).
Giblet atau jeroan merupakan hasil ikutan  yang dapat dimakan, biasanya terdiri dari hati, jantung dan ampela. Hati merupakan organ yang berfungsi sebagai alat penyaring zat-zat makanan yang diserap sebelum masuk dalam peredaran darah dan jaringan-jaringan (Abubakar dan Nataamijaya, 1999:178), terdiri dari lobi kanan dan kiri yang hampir sama ukurannya, bagian tepinya secara normal adalah lancip dan bila terjadi pembesaran menjadi bulat (Mc Lelland, 1990 yang disitasi oleh Sajidin, 1998:9)

Pada dasarnya kualitas daging dan karkas dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan, termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral) dan stres. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas, dan  daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon, dan antibiotik, lemak intramuscular, dan metode penyimpanan.
UJI KUALITAS DAGING
pH Daging
Menurut Buckle et al. (1987), bahwa pada beberapa ternak, penurunan pH terjadi satu jam setelah ternak dipotong sampai tercapainya rigormortis. Pada penelitian ini nilai pH daging ada yang tetap tinggi yaitu sekitar 6,5 – 6,8, namun ada juga yang mengalami penurunan dengan sangat cepat yaitu mencapai 5,5 – 5,6. Penurunan nilai pH daging sapi setelah perubahan glikolisis menjadi asam. Jurnal ilmiah peternakan terpadu Vol. 3(3): 98 – 103, agustus 2015 Alda Nasrul Haq et al. 100 laktat berhenti berkisar antara 5,1 – 6,2 (soeparno,2005).
Nilai pH daging akan ditentukan oleh jumlah laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan hal ini akan terbatas bila glikogen terdeplesi karena lelah, kelaparan atau takut pada hewan sebelum dipotong ( Buckle et al.,1987)
Menurut Aberle et al. (2001) dan Lawrie (2003), pH daging dapat menurun dengan cepat hingga mencapai 5,4 – 5,5 selama beberapa jam setelah pemotongan. Standar pH daging hewan yang sehat dan cukup istirahat yang baru dipotong adalah 7 – 7,2 dan akan terus menurun selama 24 jam. Penurunan pH tersebut tidak sama untuk semua urat daging dari seekor hewan dan diantara hewan juga berbeda. Nilai pH postmortem akan ditentukan oleh jumlah assam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob. Nilai pH akan semakin rendah pada hewan yang mengalami stress sebelum pemotongan dan akan dihasilkan daging yang pucat, lembek dan berair (pale, soft, exudative = PSE).
Purnomo dan Adiono (1985) menambahkan, terbentuknya asam laktat menyebabkan penurunan pH daging dan menyebabkan kerusakan struktur protein otot dan kerusakan tersebut tergantung pada temperatur dan rendahnya pH. Setelah hewan dipotong, penyediaan oksigen otot terhenti, dengan demikian persediaan oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan lagi dari otot, sehingga daging akan mengalami penurunan pH.
Menurut Lukman (2010), nilai pH daging tida akan pernah mencapai nilai dibawah 5,3. Hal ini disebabkan oleh enzim – enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif bekerja. pH daging yang tinggi akan mempengaruhi jumlah mikroorganisme juga semakin tinggi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan buckle et al (1987), bahwa pada pH rendah (sekitar 5,1 – 6,1) menyebabkan daging mempunyai struktur terbuka, sedangkan pH tinggi (sekitar 6,2 – 7,2) menyebabkan daging pada tahap akhir akan mempunyai struktur yang tertutup atau padat dan lebih memungkinkan untuk perkembangan mikroorganisme lebih baik.
Menurut Aberle et al.(2001), laju penurunan pH daging secara normal ialah pH menurun secara bertahap dari 7,0 sampai berkisar 5,6 – 5,7 dalam waktu 6 – 8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5,3 – 5,7.
Susut Masak
Nilai susut masak merupakan nilai massa daging yang berkurang setelah proses pemanasan atau pengolahan masak. Nilai susut masak ini erat kaitannya dengan daya mengikat air. Semakin tinggi daya mengikat air maka ketika proses pemanasan air dan cairan nutrisi pun akan sedikit yang keluar atau yang terbuang sehingga massa daging yang berkurang sedikit. Menurut Yanti (2008), daging yang mempunyai angka susut masak rendah, memiliki kualitas yang baik karena kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga rendah. Daging beku atau disimpan dalam suhu dingin cenderung akan mengalami perubahan protein otot, yang menyebabkan berkurangnya nilai daya ikat air protein otot dan meningkatnya jumlah cairan yang keluar (drip) dari daging (Anon dan calvelo, 1980).
Keempukan Daging
Keempukan daging merupakan faktor penting dalam pengolahan daging. Keempukan diukur dengan nilai daya putus Warner-Blatzler (WB). Keempukan sangat berkaitan erat dengan status panjang sarkomer otot. Daging dengan sarkomer yang lebih pendek setelah fasse rigormortis memiliki tingkat kealotan tinggi dibanding dengan yang sarkomernya tidak mengalami pemendekan ( Swatland, 1984; Locker, 1985; Dutson, 1985). Kualitas daging akan berpengaruh pada penyimpanan suhu dingin dan penyimpanan pada suhu dingin dapat mengakibatkan terjadinya pemendekan otot (T.Suryani, 2004).
Menurut Pearson dan Dutson (1985) bahwa pada daging pre rigor yang disimpan pada suhu rendah mengakibatkan peningkatan konsentrasi ion Ca2+ bebas di luar membran reticulum sarkoplasmatik. Hal tersebut memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan terbentuknya ikatan aktin – miosin dan menghasilkan pemendekan sarkomer. Menurut T. Suryani (2004) bahwa semakin tinggi nilai daya putus WB berarti semakin banyak gaya yang diperlukan untuk memutus serabut daging per cm2, yang berarti daging semakin alot atau tingkat keempukan semakin rendah. Swatland (1984) dan Locker (1985) menyatakan bahwa peningkatan panjang sarkomer secara paralel akan meningkatkan keempukan. Menurut Pearson dan Young (1971) bahwa nilai keempukan daging terbagi atas tiga bagian yaitu kisaran empuk dengan skala 0 – 3 Kg/g, cukup/ sedang dengan skala 3 – 6 Kg/ g, dan alot dengan skala >6 – 11 Kg/ g.


BAB III
MATERI DAN METODE

1. Materi
Alat dan bahan :
Pisau 9. pH meter
Scalpel dan Blade 10. Termometer Bimetal
Gunting 11. Beaker Glass
Talenan 12. Blender
Baki 13. Timbangan Digital
Timbangan 14. Aquadest
Ayam Broiler
Air panas


2. Metode :
Boneless broiler
Ayam ditimbang untuk mengetahui bobot hidup.

Ayam disembelih pada bagian leher dengan memotong 3 saluran (arteri karotis, vena jugularis, esophagus).

Setelah disembelih, Ayam ditimbang untuk mengetahui bobot darah.

Celupkan ayam pada air panas suhu 800 C selama 1 menit.

Cabut bulu ayam sampai bersih.

Ayam yang sudah bersih ditimbang kembali untuk mengetahui bobot bulu.

Keluarkan isi rongga dada dan perut (jeroan).

Timbang masing-masing jeroannya.

Potong bagian kepala – pangkal leher dan kedua kaki.

Parting bagian-bagian ayam.


Prosedur Pembagian Karkas Ayam
Kaki dan kepala sampai pangkal leher dipisahkan.

Dalam posisi terlentang bagian dada diatas. Tarik salah satu kaki menjauh dari tubuh, kulit diiris hingga sendi tulang (pangkal paha). Kaki ini terdiri atas dua bagian yaitu bagian paha (drumstick) dan bagian tibia atau thigh.

Kaki dibagi pada batas persendian menjaddi dua bagian yaitu drumstick dan thigh.

Pisahkan bagian sayap mulai ujung tulang sayap dengan badan ayam (persendian yang menonjol).

Sisa karkas dipisahkan bagian punggung batas antara tulang punggung dan tulang rusuk).

Bagian dada (breast) dipisahkan.

Pisahkan otot/ daging dada yang biasa dipakai sebagai sampel untuk Uji Kualitas Daging.


Uji Kualitas Daging
pH Daging
Sampel daging dihaluskan sebanyak 10 gr.

Sampel yang sudah dihaluskan dimasukkan ke dalam beaker glass dan diencerkan dengan aquadest 100 ml.

Blender selama 1 menit

Sampel diukur menggunakan pH meter yang sudah dikalibrasi.

Susut Masak Daging
Sampel daging sebanyak 50 gr ditancapkan pada thermometer bimetal sampai menembus bagian tengah sampel daging.

Sampel dimasukkan ke dalam air mendidih.

Setelah thermometer bimetal mencapai angka 810C selama 15 menit, sampel daging diangkat

Sampel didinginkan selama 60 menit dan ditimbang setiap 30 menit sampai berat konstan.

Keempukan Daging
Siapkan 100 gr sampel daging

Tancapkan thermometer bimetal sampai tengah daging.

Rebus hingga suhu mencapai 810C selama 15 menit.

Angkat sampel dan kemudian dinginkan selama 60 menit.

Buat penampang daging dengan luas ( panjang 4–5 cm, lebar 1,5 cm dan tebal 0,67cm)

Potong dengan menggunakan alat pemotong.

Lihat besarnya gaya putus daging.


Daya Ikat Air
0,3 gr sampel daging diletakkan pada kertas saring diantara 2 plat dengan beban 35 kg.

Setelah 5 menit, daerah yang tertutup sampel daging yang telah pipih dan luas daerah basah disekitarnya ditandai dan diukur.

Daerah basah diperoleh dengan mengurangkan daerah yang tertutup sampel daging dari luas total (luas daerah basah dan luas daerah yang tertutup sampel daging).

Nilai kandungan air yang diperoleh berdasarkan rumus (air bebas), selanjutnya dipersentasekan terhadap bobot sampel yaitu 0,3 gr.


BAB IV
HASIL PRAKTIKUM

Boneless Broiler
No
Keterangan
Berat

1.
Berat Ayam Hidup
1,3 kg

2
Berat Ayam Mati
1,2 kg

3
Berat Darah
0,1 kg

4
Berat Ayam tanpa bulu
1,15 kg

5
Berat Bulu
0,05 kg

6
Berat Giblet
38 gr

7
Berat Jeroan Kotor
63 gr

8
Berat Shank
43 gr

9
Berat Kepala
63 gr

10
Berat Jeroan Bersih
78 gr

11
Berat Paha Kanan
65 gr

12
Berat Paha Kiri
63 gr

13
Berat Paha Kanan Atas
70 gr

14
Berat Paha Kiri Atas
75 gr

15
Berat Sayap Kanan
50 gr

16
Berat Sayap kiri
62 gr

17
Berat Dada
359 gr

18
Berat Punggung
152 gr


Persentase karkas  X 100%
= 71,30 %
B. Uji Kualitas Daging
pH Daging
ulangan I = 6,7
ulangan II = 6,6
ulangan III = 6,7
rata – rata/ pH daging yaitu 6,67.

Susut Masak daging %
Bobot setelah pemasakan 75,5 gr.
Susut masak   X 100%
=  X 100%
= 24,5 %


Keempukan Daging
650 gr = 0,65 kg : 1 cm2 = 0,65 kg/cm2
500 gr = 0,5 kg : 1cm2 = 0,5 kg/ cm2
700 gr = 0,7 : 1 cm2 = 0,7 kg/ cm2
= 1,85
3
= 0,61667 kg/ cm2

Daya Ikat Air (WHC)
Dalam kotak = 8 x 25 = 200
Luar kotak = 43 x 25 = 1075
100
= 10,75
Dalam kotak = 5 x 25 =125
Luar kotak = 49 x 25 = 1225
100
= 12,25
Dalam kotak = 13 x 25 = 325
Luar kotak = 52 x 25 = 1300
100
= 13
Rata – rata = 12.


BAB V
PEMBAHASAN

Boneless broiler
Kegiatan praktikum yang dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Peternakan Universitas Mercu Buana Yogyakarta yang mana melakukan prosessing ayam broiler guna mengetahui bagaimana kualitas karkas itu baik dan layak dikonsumsi. Pemotongan ayam itu sendiri harus dilkukan dengan benar dan disembelih sesuai dengan kriteria halal. Ayam yang telah dipotong lalu dibului, pencabutan bulu secara manual yaitu dengan perendaman ke dalam air bersuhu 30 – 50°C agar mudah dibului. Dalam prosessing ini yang tidak termasuk ke dalam karkas adalah kaki dan leher. Karkas broiler adalah daging bersama tulang hasil pemotongan, setelah dipisahkan dari kepala sampai batas pangkal leher dan dari kaki sampai batas lutut serta dari isi rongga perut ayam. Karkas diperoleh dengan memotong ayam broiler kemudian menimbang bagian daging, tulang, jantung dan ginjal (Kamran, 2008). Aviagen (2006) menyatakan bobot karkas ayam broiler berkisar antara 1750-1800 gram atau 71-73% dari bobot badan. persentase ayam broiler siap potong menurut Bakrie et al. (2002), adalah 58,9%.
Hasil praktikum yang dilakukan oleh praktikan diperoleh hasil persentase karkas sebesar 71,30 %. Sehingga sesuai dengan pernyataan Aviagen (2006).

Uji Kualitas Daging
Nilai pH Daging
Pada saat pengukuran pH daging, daging kelompok kami memiliki pH 6,67. Menurut Buckle et al ( 1987), bahwa pada beberapa ternak, penurunan pH terjadi 1 jam setelah ternak dipotong sampai tercapainya rigormortis. . Pada penelitian ini nilai pH daging ada yang tetap tinggi yaitu sekitar 6,5 – 6,8, namun ada juga yang mengalami penurunan dengan sangat cepat yaitu mencapai 5,5 – 5,6. Penurunan nilai pH daging sapi setelah perubahan glikolisis menjadi asam.
Susut Masak Daging
Dari praktikum yang dilakukan oleh praktikan diperoleh angka susut masak sebesar 24,5%. Angka tersebut termasuk tinggi karena daging atau sampel yang digunakan telah melalui proses pembekuan sebelumnya (daging beku) sehingga nilai susut masak tinggi. Menurut Yanti (2008), daging yang mempunyai angka susut masak rendah, memiliki kualitas yang baik karena kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga rendah. Daging beku atau disimpan dalam suhu dingin cenderung akan mengalami perubahan protein otot, yang menyebabkan berkurangnya nilai daya ikat air protein otot dan meningkatnya jumlah cairan yang keluar (drip) dari daging.
Keempukan Daging
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keempukan daging setelah melalui proses pemasakan. Pada uji ini digunakan sampel daging ayam untuk perbandingan. Sampel daging dari uji susut masak dipotong searah serat dan dengan ukuran panjang 4 cm, lebar 1,5 cm dan tebal 0,67 cm. Setelah itu diuji dengan alat Warner Bratzler (penguji keempukan daging), saat meletakkan pada alat uji keempukan dipastikan bahwa posisi alat uji tegak lurus dengan arah serat daging agar hasil yang didapat tepat. Berdasarkan sampel kelompok kami rata – rata keempukan daging 0,61667 kg/ cm2. Menurut Pearson dan Dutson (1985) bahwa pada daging pre rigor yang disimpan pada suhu rendah mengakibatkan peningkatan konsentrasi ion Ca2+ bebas di luar membran reticulum sarkoplasmatik. Hal tersebut memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan terbentuknya ikatan aktin – miosin dan menghasilkan pemendekan sarkomer. Menurut T. Suryani (2004) bahwa semakin tinggi nilai daya putus WB berarti semakin banyak gaya yang diperlukan untuk memutus serabut daging per cm2, yang berarti daging semakin alot atau tingkat keempukan semakin rendah. Swatland (1984) dan Locker (1985) menyatakan bahwa peningkatan panjang sarkomer secara paralel akan meningkatkan keempukan. Menurut Pearson dan Young (1971) bahwa nilai keempukan daging terbagi atas tiga bagian yaitu kisaran empuk dengan skala 0 – 3 Kg/g, cukup/ sedang dengan skala 3 – 6 Kg/ g, dan alot dengan skala >6 – 11 Kg/ g.
Daya Ikat Air Daging
Berdasaran praktikum yang dilakukan diketahui luas area basah 12. Daya ikat air adalah kemampuan daging untuk mengikat air atau air yang ditambahkan selama pengaruh kekuatan dari luar seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan, atau pengepresan. Komposisi kimia daging terdiri dari kadar air, protein, dan kadar karbohidrat serta mineral yang ditentukan untuk nutrisi dan umur ternak saat ternak masih hidup. Kualitas daging dipengaruhi oleh kandungan air dalam daging. Air merupakan medium biologis termasuk sebagai medium untuk mentransformasikan substrat otot. Daya ikat air dipengaruhi oleh kadar protein daging dan karkas.

BAB VI
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Komponen-komponen karkas terdiri atas paha, dada, sayap, punggung dankulit dengan lapisan lemaknya. Selain itu juga ada komponen non karkasterdiri dari kaki, sayap, kepala dan leher. Sedangkan isi dalam meliputiusus, gizzard, hati, jantung dan lain-lain.
Susut masak daging berbanding lurus dengan pH dari daging tersebut maka pengujian sifat fisik terhadap kualitas daging dapat dilakukan pada pH daging, daya mengikat air, keempukan daging dan susut masak daging. Keempat indikator ini saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain.
Persentase karkas diperoleh 71,30 %, pH daging 6,67, Susut Masak 24,5%, Keempukan 0,61667 kg/ cm2, dan Daya Ikat Air 12

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar R, Dharsana, Nataamijaya RG. 1998. Preferensi dan nilai gizi daging ayam hasil persilangan (pejantan buras dengan betina ras) dengan pemberian jenis pakan yang berbeda.  Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 1-2 Des 1998. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 1998. hlm 779–785
Anon, M. C., dan A. Calvelo. 1980. Freezing rate effects of drip loss of frozen beef. J. Meat Sci. 4 : 1.
Bratzler, L. J., A. M. Gaddis dan W. L. Sulbacher. 1977. Freezing Meat. Pada : Fundamental of Food Freezing. N. W. Desrosier and D. K. Tressler, Eds. The AVI Publ., Co., Inc., Wesport, Connectitut.
Judge, M. D., Arberle, E.D. Forrest, J. C. Hendrick, H. B. And Merkel, R. A. 1989. Principles Meat Science 2nd. Kendall/ Hunt Publishing Co, lowa.
Lawrie, R. A. 1979. Meat Science, 3rd edition. Oxford : Pregamon Press.
Locker, R. H. 1985. Cold- induced toughness of meat. In : A. M. Pearson & T.R. Dutson (Eds). Electrical Stimulation Adv. In MeatResearch, Vol. 1:1-44. The Avi Publishing Company, Inc., Westport, Conecticut.
Murtidjo, B.A. 1991. Mengelola Ayam Buras. Yogyakarta : Kanisius.
Pearson, A.M. & T. R. Dutson. 1985. Scientific basis for electrical stimulation. In : A. M. Pearson & T. R. Dutson ( Eds). Electrical Stimulation Adv. In meat Research, Vol. 1:185-218. The Avi Publishing Company, Inc., Wesport, Conecticut.
Rasyaf, M. 1994. Makanan Ayam Broiler. Yogyakarta : Yayasan Kanisius.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknoogi Daging. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
T. suryati, M. Astawan, & T. Wresdiyati. 2004. Sifat Fisik Daging Domba yang Diberi Perlakuan Stimulasi Listrik Voltase Rendah dan Injeksi Kalsium Klorida. Media peternakan. 27(3):101-106.