Senin, 17 September 2018

hubungan dan pengaruh lingkungan terhadap kesehatan ternak

hubungan dan pengaruh lingkungan terhadap kesehatan ternak 

Iklim
Iklim mempunyai pengaruh besar terhadap ternak karena iklim dapat membantu atau mengganggu kelangsungan hidup ternak. Iklim meliputi :

1. Temperatur Udara
Ternak hanya dapat hidup pada interval suhu tertentu disebabkan adanya toleransi panas. Temperatur yang panas atau terlalu dingin sangat mempengaruhi produktivitas ternak dan dapat menyebabkan gangguan faali. Ternak lokal dapat bertahan dengan suhu yang relatif panas, sedangkan ternak yang berasal dari sub tropis yang telah disilangkan dengan ternak lokal dapat bertahan di tempat suhu yang sedang.

2. Uap Air
Uap  air dapat mempengaruhi kecepatan kehilangan pans rendah.as dari ternak. Suhu dan kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan stress pada ternak, menggangu penguapan tubuh, dan menyebabkan produktivit

3. Curah Hujan
Curah hujan memiliki arti penting dalam penyediaan air minum dan penyediaan makanan ternak sepanjang tahun. Curah hujan yang tinggi dapat mengakibatkan mikroorganisme patogen mudah tumbuh.

4. Sinar Matahari
Sinar matahari penting bagi ternak karena dapat mempengaruhi proses fisiologi ternak. Sinar matahari yang berlebihan dapat menurunkan kualitas pakan dan menyebabkan dermatitis.

5.  Pengaruh Air
Air sangat penting bagi kelangsungan hidup ternak. Air merupaka sumber nutrisi dan pada manajemen kesehatan air digunakan untuk sanitasi salah satunya.

Pengaruh Makanan
1. Protein
Protein sangat penting bagi ternak karena di dalam tubuh ternak, protein digunakan untuk membangun semua bagian lunak tubuh dan digunakan untuk pembentukan berbagai hormon dan enzim. Kekurangan protein dapat mengakibatkan ternak tidak mampu memproduksi dan memelihara jaringan tubuhnya sehingga mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan kesuburan.

2. Karbohidrat
Karbohidrat penting bagi ternak karena digunakan sebagai energi untuk kelangsungan hidupnya. Kelebihan karbohidrat akan disimpan dalam bentuk glikogen.

3. Lemak
Lemak digunakan oleh tubuh sebagai sumber energi dan pengangkut vitamin yang larut dalam lemak.

4. Vitamin
Vitamin sangat penting untuk menjaga kesehatan dan ketahanan tubuh ternak. Vitamin dibutuhkan relatif kecil oleh tubuh ternak. Kekurangan vitamin dapat menyebabkan penyakit defisiensi vitamin.

5. Mineral
Mineral merupakan komponen organik yang penting bagi tubuh. Kekurangan mineral dapat mengakibatkan penyakit defisiensi mineral.

Pengaruh Tanah
1. Media bakteri
2. Kandungan Unsur Hara
3. Kondisi Tanah



Selasa, 31 Juli 2018

pengujian sifat - sifat fisik kulit

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kulit merupakan pelindung tubuh bagi hewan bertingkat tinggi. Susunan kimia kulit segar terdiri dari air, protein, lemak, mineral, vitamin, karbohidrat dan enzim. Komposisi kulit berbedda – beda tergantung pada jenis, bangsa, umur, dan jenis kelamin.
Sifat – sifat fisik kulit adalah ketahanan kulit terhadap pengaruh luar, baik pengaruh mekanik maupun pengaruh lingkungan. Kekerasan dan kualitas kulit dipengarui oleh kadar lemak, air, protein fibrous dan protein globular dalam kulit. Kekuatan kulit terutama dipengaruhi oleh kadar protein dalam kulit.
Kandungan air dalam protein kolagen akan mempengaruhi pengerutan kulit. Perkamen nilai pengerutan pada kulit lebih kecil daripada kulit kering. Penyebab hal tersebut karena kulit perkamen serabutnya sudah banyak yang putus dan kadar protein kulit perkamen lebih rendah daripada kulit kering. Terputusnya serabut akan mempengaruhi kekuatan kulit, dalam hal ini adalah persentase kerut maksimal.
Tujuan
Tujuan dari pengujian sifat kulit ini adalah untuk mengetahui kekuatan tarik kulit, persentase kemuluran, persentase pengerutan, dan kekuatan sobek.

TINJAUAN PUSTAKA

Kulit hewan merupakan bahan mentah kulit samak yang berupa tenunan dari tubuh hewan yang terbentuk dari sel – sel hidup serta hasil – hasilnya. Ditinjau dari segi histologi kulit hewan mamalia mempunyai struktur yang bersamaan yang terdiri dari 3 lapis yang jelas dalam struktur maupun asalnya (soeparno, 2001).
Komposisi kimia kulit berbeda – beda tergantung dari jenis bangsa, umur, dan jenis kelamin. Kulit terdiri dari air, protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin, dan enzim. Komposisi kimia kulit segar terdiri dari air 64%, protein 33%, lemak 2%, mineral 0,5%, dan substansi lain 0,8%. Dari 33% protein yang terkandung didalam kulit terdiri dari 29% kolagen, 0,3% elastin, 0,2% keratin, 1% globulin dan albumin, 0,75% mucin dan mukoid (soeparno, 2001).
Sifat – sifat fisik kulit ialah ketahanan kulit terhadap pengaruh – pengaruh luar antara lain pengaruh mekanik, kelembaban, dan suhu luar. Kekerasan kulit dan kekuatannya dipengaruhi oleh kadar air, protein fibrus, protein globuler, dan lemak yang ada dalam kulit.
Kekuatan tarik adalah besarnya beban yang dibutuhkan untuk menarik contoh kulit berukuran panjang 5 cm, lebar 1 cm serta kecepatan penarikan 25 m per menit hingga contoh kulit tersebut putus. Bentuk anyaman, kepadatan serabut kolagen, keutuhan serabut kolagen dan sudut anyaman ikut menentukan besarnya kekuatan tarik dan kemuluran (soeparno et al., 2001).
Kekuatan tarik kulit adalah daya kulit untuk menahan sejumlah beban persatuan luas penampang kulit sampai batas retak dan putus. Kuat tarik kulit adalah besarnya gaya maksimum yang diperlukan untuk menarik kulit sampai putus yangdiinyatakan dalam kg/cm2 dan newton/cm2.
Kekuatan tarik kulit dipengaruhi oleh kadar air, lemak, protein fibrous, protein globular, dan struktur jaringan (Nayudamma, 1975). Menurut Kanagy (1977), bahwa sudut jalianan dan kadar lemak berpengaruh negatif terhadap kekuatan tarik kulit. Makin besar sudut jalinan dan kadar lemak, maka kekuatan tarik akan turun. Protein fibrous dan tebal korium yang tinggi akan menghasilkan kuat tarik yang tinggi.
Persentase kemuluran adalah persentase pertambahan panjang sampai kulit yang ditarik hingga putus. Perhitungan besarnya kekuatan tarik dan kemuluran dudasarkan pada luas penampang contoh kulit, pertambahan panjang selama ditarik dan beban yang dibutuhkan untuk menarik contoh kulit sampai putus (Djojowidagdo, 1981).
Persen kemuluran adalah berapa pertambahan panjang contoh kulit yang ditarik hingga putus dinyatakan dalam persen. Perhitungan berapa besarnya kekuatan tarik dan persen kemuluran didasarkan atas macam spesies, luas penampang contoh kulit (cm2). Bertambahnya panjang dan beban yang dibutuhkan sampai contoh kulit putus (Nayudamma, 1978).
Susut kerut ialah suhu tertentu yang mengakibatkan contoh kulit mengalami pengerutan. Peningkatan dan penurunan suhu kerut tergantung dari kadar air, protein, elektrolit dan non elektrolit, derajad keasaman selama penguluran (Nayudamma, 1978). Banyaknya kadar air dalam molekul kolagen juga mempengaruhi tinggi rendahnya suhu kerut, kandungan air yang tinggi menyebabkan suhu kerut rendah, sebaliknya kandungan air rendah menyebabkan suhu kerut tinggi (Soeparno, 2001).
Faktor – faktor yang menentukan sifat fisik kulit yaitu komposisi kimia dan struktur jaringan kulit. Degradasi serabut – serabut kolagen akan menyebabkan mutu kulit rendah dan kekuatan kulit juga rendah. Kekuatan kulit ditentukan oleh ukuran serabut, banyaknya bekas serabut dan susunan berkas serabut kolagen, pada hewan muda berkass serabut kolagen massih longgar, sehingga kekuatan kulit rendah dan persentase kemulurannya tinggi. Semakin bertambah umur ternak maka susunan kolagennya semakin stabil, sehingga suhu kerut kulitnya semakin tinggi (Kanagy, 1977).
Kerut maksimal dinyatakan sebagai pengerutan kulit yang disebabkan oleh pemanasan dengan air mendidih selama 15 menit yang dinyatakan dalam persentase (Nayudamma, 1978).
Kandungan air dalam protein kolagen akan mempengaruhi pengerutan kulit. Pada kulit perkamen, nilai pengerutan lebih kecil dari kulit kering. Hal ini disebabkan karena pada kulit perkamen serabutnya sudah banyak yang putus dan kadar protein kulit perkamen lebih rendah dari kulit kering. Terputusnya serabut akan mempengaruhi kekuatan kulit yaitu persentase kerut maksimal (Nayudamma, 1978).
Serabut – serabut kolagen atau kulit mentah akan mengerut lebih kurang sepertiga atau seperempat dari panjang semula jika dipanaskan dalam medium air pada suhu tertentu. Suhu kerut tergantung dari besarnya ikatan silang yang terbentuk selama penyamakan. Pengerutan kulit selama pemanasan terjadi karena pelepasan ikatan hidrogen dari ikatannya dengan kolagen (Sumarno, 1995).

MATERI DAN METODE

1. Materi
Alat dan Bahan :
Kulit Kambing 4. Penggaris
Tearing Strength 5. Spidol
Gunting

2. Metode
a. Uji Kuat Tarik dan Kemuluran
Cuplikan dikondisikan pada suhu 250C dan RH 63% - 67% selama 24 jam.

Mengukur tebal cuplikan pada tiga tempat dengan alat ukur tebal kulit, mengambil ukuran tebal yang paling kecil dari ketiga ukuran tersebut yang dinyatakan sebagai tebal cuplikan.

Mengukur lebar cuplikan pada tiga tempat dengan jangka sorong, mengambil ukuran lebar yang terkecil dari ukuran tersebut dinyatakan sebagai lebar cuplikan.

Menyiapkan mesin penguji (tearing strength), memasang cuplikan pada penjepit dan menguatkannya dengan kunci pengeras yang tersedia. Jarum pada skala penunjuk beban dan skala kemuluran di atur pada angka nol.

Menajalankan mesin hingga cuplikan putus

Mengamati dan mencatat besarnya beban maksimum dan pertambahan panjang pada skala penunjuk.

b. Uji Kerut
Mengambil sampel ukuran 2 x 2 cm untuk direbus

Amati sampai sampel tidak mengalami perubahan. Artinya sampel kulit telah matang

PEMBAHASAN

  Dalam pengujian sifat – sifat fisik kulit meliputi kekuatan tarik, kemuluran, suhu kerut daa uji sobek diperoleh hasil yaitu kuat tarik 523 gram, kemuluran 18,18%, persentase pengerutan sebesar 9,75%, dan uji sobek diperoleh serat banyak dan panjang serta serat bagus.
Dalam pengukuran kekuatan tarik dan persentase kemuluran digunakan alat tearing strength. Pengukuran kekuatan tarik dengan diketahui beban untuk menarik tiap kulit berturut – turut adalah 223 gram, 323 gram, dan 523 gram.
Perhitungan persentase kemuluran dihitung berdasarkan pertambahan panjang atau kemuluran kulit dalam cm. Nilai persentase kemuluran diperoleh dengan membagi pertambahan panjang dengan panjang mula – mula dikali 100%. Menurut Anonimus (1985) bahwa kulit yang mempunyai kekuatan tarik tinggi selalu mempunyai persentase kemuluran rendah dan sebaliknya. Jadi kedua – duanya berbanding terbalik atau korelasinya negatif. Dari hasil praktikum diperoleh kekuatan tarik kulit rendah dan persentase kemuluran kulit rendah.
Dari hasil praktikum diperoleh persentase pengerutan 9,75%. Hal ini dipengaruhi oleh suhu perebusan kulit. Tinggi rendahnya suhu kerut dipengaruhi atau tergantung pada kadar protein kolagen. Selain itu kadar air yang tinggi akan menurunkan suhu kerut.
Pada uji kekuatan sobek di dapatkan hasil yaitu serat banyak dan panjang serta serat tinggi. Tinggi rendahnya kekuatan sobek tergantung dari kekuatan tarik kulit. Semakin tinggi kekuatan tarik kulit maka kekuatan sobek juga semakin tinggi.

KESIMPULAN
Sifat kulit hewan ternak dapat diketahui melalui uji kualitas kulit. Uji kualitas kulit meliputi uji kekuatan tarik, uji kemuluran, uji pengerutan, dan uji kekuatan sobek. Dari hasil praktikum didapatkan hasil yaitu uji kekuatan tarik sebesar 523 gram, uji pengerutan 18,18%, uji pengerutan 9,75%, dan uji kekuatan sobek menunjukkan bahwa serat banyak dan panjang serta serat tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1985. Standar Industri Indonesia. Yogyakarta : Departemen Perindustrian.
Djojowidagdo, S. B. Wikantandi dan Suparno. 1988. Pengaruh beberapa cara pengawetan kulit mentah terhadap kekuatan tarik dan kemuluran kulit samak jadi. Yogyakarta : Laporan Penelitian Lembaga Penelitian UGM.
Kanagy, J.H. 1977. Physical and Performance Properties of Leather. Capt 64 Vol IV. Pada : The Chemistry and Technology of Leather. F O’flaherty. W. Roddy and R. M. Lollar eds Robert E. Kregen Publishing Co, Houtington, New York.
Nayudamma, J. 1978. Shrinkage Phenomena. Kregen Publishing Co, Houtington, New York.
Soeparno, Indratiningsih, Suharjono Triatmojo, Rihastuti. 2001. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Yogyakarta : Jurusan Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan UGM.

diare pada sapi

Diare pada sapi

Penyebab Diare Pada Sapi
Rotavirus dan Coronavirus adalah nama dari 2 jenis virus penyebab diare pada sapi potong berusia dewasa. Ketika pedet berada di dekat sapi dewasa yang telah terserang virus ini, mereka akan memiliki resiko tertular yang sangat tinggi. Pedet yang terinfeksi juga akan menjadi lebih rentan terhadap serangan infeksi bakteri lainnya.
Di dalam tubuh sapi potong, virus ini  akan segera menyerang lapisan sel usus kecil dan menggunakan material yang ada didalamnya untuk berkembang biak. Akibatnya pencernaan sapi potong akan terganggu. Pada saat jumlah virus menjadi sangat besar, sel ini tidak akan mampu menampung dan akhirnya pecah. Virus-virus baru akan menyebar dan menyerang sel-sel yang lain yang berada didekatnya.
Umumnya, pedet yang terserang virus ini akan menampakkan gejala pada 10 -14 hari (khususnya 10 hari pertama) setelah kelahirannya,  seperti :  mencret  parah, depresi, dehidrasi,sering mengejan dan sering mengeluarkan air liur (saliva).
Jika 24 jam setelah dilahirkan pedet langsung mengalami diare hebat , mengeluarkan air liur secara terus menerus, tidak mau makan dan kotorannya berwarna kuning hingga hijau, kemungkinan besar penyebabnya adalah Rotavirus. Jika ada komplikasi infeksi akibat bakteri lain seperti E.Coli, tingkat kematiannya akan cukup tinggi bahkan hingga mencapai hampir 50%. Penggunaan antibiotik pada kasus ini tidak efektif terhadap virus, tapi cukup membantu untuk melawan infeksi bakterinya.
Namun jika mencret terjadi 5 hari atau lebih setelah kelahiran pedet, penyebabnya adalah Coronavirus.Virus jenis ini dapat juga menulari pedet yang telah berusia 6 minggu atau lebih. Tingkat depresi yang diakibatkan oleh Coronavirus tidak setinggi Rotavirus. Pada awalnya, pedet akan mengalami diare, depresi (walaupun tidak separah seperti Rotavirus) dan mengeluarkan kotoran berwarna kuning sampai hijau. Setelah beberapa jam, kotoran  dapat mengandung lendir bening yang menyerupai putih telur. Diare dapat terus berlangsung selama beberapa hari. Tingkat kematian akibat coronavirus berkisar antara 1 sampai 25 persen.
Kedua virus ini sulit didiagnosis dengan pengamatan biasa, kecuali melalui pemeriksaan laboratorium. Jika melihat permukaan usus, tanda luka akibat infeksi tidak terlalu jelas. Namun biasanya usus akan penuh oleh kotoran (feces) cair. Apabila telihat pun itu diakibatkan oleh infeksi bakteri lainnya.
Untuk mencegah pedet tertular virus ini, pada induk sapi harus dilakukan vaksinasi yang  dilakukan beberapa kali. Vaksin pertama diberikan pada 6 – 12 minggu sebelum kelahiran, dan yang kedua sedekat mungkin dengan waktu kelahiran. Kemudian pada tahun selanjutnya, si induk diberikan booster vaksin sebelum melahirkan. Apabila periode melahirkan terlambat lebih dari 6 – 8 minggu, induk yang belum melahirkan di akhir minggu ke-enam diberikan booster vaksin kedua.
Saat ini Vaksinasi yang spesifik untuk rotavirus  dan coronavirus sudah tersedia. Dapat diberikan dengan dua cara, oral segera setelah pedet dilahirkan, atau vaksinasi terhadap induk sapi hamil. Dengan mengikuti prosedur ini, dapat dipastikan bahwa pedet yang dilahirkan mendapat antibodi rotavirus  dan coronavirus yang tinggi dalam kolostrum.
Clostridium perfringens adalah salah satu bakteri yang menyebabkan diare pada sapi potong. Bakteri ini terdiri dari 3 tipe yaitu  B, C dan D. Ketiga-tiganya memiliki daya  bertahan hidup di tanah cukup lama.
Bakteri Clostridium perfringens hampir selalu ada pada usus sapi dewasa. Pada kondisi normal dan jumlah tertentu, bakteri ini tidak berbahaya.  Namun ada beberapa kondisi yang menyebabkan bakteri ini berkembang pesat dan karenanya menyebabkan infeksi. Contohnya adalah perubahan program pemberian pakan secara mendadak atau sapi potong terlalu banyak mengkonsumsi pakan.
Akibatnya pergerakan usus menjadi lebih lambat, produksi gula darah dan protein berlebihan, dan konsentrasi oksigen berkurang. Kondisi ini memicu pertumbuhan bakteri Clostridium. Belum lagi kondisi kandang yang selalu basah dan lembah semakin mempercepat pertumbuhannya.  Dalam jumlah besar, Clostridium akan menyerang usus dan menyebabkan infeksi  akut (enterotoxemia). Efeknya adalah keluarnya kotoran berupa cairan (mencret).
Walaupun infeksi Clostridial umumnya diderita sapi potong dewasa, ada beberapa kasus ditemukan juga pada anak sapi.  Pada pedet  yang terinfeksi akan menunjukkan gejala-gejala seperti :  gelisah. ketegangan dan tendangan pada bagian perut. Pada usia pedet sekitar 10-14 hari, seringkali ditemukan gejala kematian tanpa ada tanda-tanda sebelumnya.
Infeksi Clostridial kini dapat dikendalikan dengan cara memvaksinasi induk sapi dengan  Clostridium perfringens toxoid pada 60 sampai 30 hari sebelum melahirkan. Selanjutnya satu dosis booster harus diberikan setiap tahun sebelum melahirkan. Apabila terdapat gejala infeksi pada pedet yang dilahirkan dari induk yang belum di imunisasi, antitoxin dapat langsung diberikan pada pedet.

Penyebab : Rumput Muda, Perubahan jenis makanan yang mendadak, Protein terlalu tinggi/banyak diberi konsentrat atau legume/kacang2an, Cacingan, Colibasilosis, Malignant Catarrhal Fever(Ingusan), Bovin Viral Diare – Mucosal Disease, Coccidiosis(Diare berdarah), Salmonelosis (berak putih), banyak pada pedet, Virus (diare ganas ).
*Gejala yang menciri : Tinja encer sampai berbentuk air, Tinja berbau anyir, Tinja berlendir sampai berdarah, Demam, Depresi, Lemah, Penurunan berat badan.

*Yang harus dilakukan peternak : Dengan kandungan protein tinggi, Beri minum air kelapa muda, air gula+garam secukupnya, Kurangi pemberian garam, Jaga kebersihan (karena diare bisa menular pada peternak ) dengan menyemprotkan/ menyiramkan desinfektan-insektisida atau deterjan pada kandang dan lingkungannya, Jika terjadi pada pedet, maka tempatkan pedet di kandang yang berlantai bersih dan hangat, Jangan dicontang dengan telur atau jamu karena akan memperparah kejadian diare, Ada kalanya daire sembuh untuk sementara, tapi penyebab penyakit belum tertanggulangi sehingga akan terjadi diare lagi yang lebih parah, jadi jangan dibiarkan, Segera panggil petugas kesehatan hewan (dokter hewan/mantri hewan).

*Pencegahan : Menjaga kebersihan kandang, tempat pakan, tempat minum dan lingkungan sekitar, Menjaga stamina dan kesehatan ternak, Pemberian obat cacing secara rutin (3-4 bulan sekali), Tidak memberikan hijauan yang masih terlalu muda, Tidak memberikan pakan dengan protein terlalu tinggi, Menyemprotkan Desinfektan- Insektisida atau Deterjen pada kandang dan lingkungannya.
Penanganan mecret pada sapi menjadi sangat penting diketahui setiap peternak sapi potong maupun  perah, karena mengobati mencret tidak bisa dilakukan dengan sembarangan terutama dalam pemberian antibiotic. Kebanyakan peternak memberi obat manusia yang dibeli dari warung ketika sapi mereka mencret, adapun obat yang sering diberikan seperti entrostop, ciba dan lainnya. Secara ilmu kesehatan ternak pemberian obat manusia untuk hewan sangat salah.   Sapi adalah hewan ruminansia yang pencernaan makanannya dibantu oleh sejumlah bakteri, selain membantu pencernaan, bakteri dalam tubuh sapi juga berguna sebagai sumber protein. Itulah sebabnya tidak dibenarkan memberikan antibiotic pada ruminansia secara asupan. Pemberian antibiotic secara asupan pada hewan memamah biak dapat membunuh semua bakteri bermanfaat yang ada di dalam lambung dan usus (saluran pencernaan), jika semua bakteri dalam saluran pencernaan hiang maka bisa dipastikan sapi tersebut akan menjadi kurus. Inilah kesalahan yang sering dilakukan peternak ketika melihat sapi mereka sakit (demam dan mencret).  Diagnosa mencret yang salah, peternak juga sangat sering melakukan kesalahan dalam mendiagnosa penyakit mencret pada sapi. Asal kotoran terlihat cair mereka sering menyimpulkan bahwa ternak mereka mencret, padahal kotoran yang cair bukanlah ciri utama dari mencret hewan, kotoran yang cenderung cair bisa saja karena pakan hijauan makanan ternak yang terlalu muda atau pemberian serat kasar yang kurang pada sapi. Adapun ciri utama penyakit mencret adalah:
kawasan sekitar panggul sapi terlihat kotor oleh kotoran yang mengering
Sering mengangkat ekornya walaupun tidak membuang kotoran (hal ini terlihat jelas pada anak sapi yang mencret)
kotoran cenderung cauir walaupun diberi pakan hijauan tua atau kering.
nafsu makan berkurang
bulu sapi terlihat kusam

Penanganan
Ternak terkena mencret harus diberi antibiotik yang tepat dengan cara injeksi secara Intra Musculer (IM). Antibiotic yang tepat ini diketahui oleh petugas kesehatan hewan dan dokter hewan, baik secara dosis maupun jenis antibiotik yang harus diberikan pada sapi mencret. Sebaiknya peternak jangan pernah memberi antibiotik pada ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan kuda) secara asupan (meminumkan), hal ini untuk melindungi perkembang biakan bekteri yang ada didalam saluran pencernaan hewan ruminansia tersebut.
Pemberian obat alamai (tradisional) untuk mencret.
Selain memberikan obat warung peternak juga sering memberikan obat tradisional, seperti ketika sapi mencret mereka memberi sari daun jambu. Belum ada uji klinis tentang khasiat daun jambu terhadap mencret pada hewan ternak, namun dalam keadaan terpaksa peternak dibenarkan memberikan ramuan-ramuan tradisional untuk mengobati sakit pada ternak. Keadaan terpaksa ini diataranya karena di daerah si peternak tidak terdapat petugas kesehatan hewan (dokter hewan). Selain daun jambu peternak juga biasa memberikan arang yang dicampur dengan air garam untuk mengobati mencret pada sapi.

pneumonia pada sapi

Pneumonia

Pneumonia (Radang Paru-Paru) merupakan penyakit yang menyerang paru-paru pada bagian parenkhim, sehingga menyebabkan gangguan pada fungsi sistem pernapasan. Penyakit ini menyerang hampir setiap hewan yang kadang banyak ditemukan bersamaan dengan radang bronchus hingga terjadi bronchopneumonia.
Penyakit pneumonia yang disebabkan oleh bakteri biasanya akibat virus pasteurella multocida, Stretococcus sp, Mycobacterium tuberculosa. Yang disebabkan oleh virus biasanya bersifat akut.
Penyakit ini sering terjadi pada sapi, khususnya sapi bali yang dikirim melalui jalur laut seperti NTT dan Sumatra ke pulau Jawa. Karena perjalanan waktu tempuh yang lama serta sapi mendapatkan cuaca yang berbeda-beda, menyebabkan sapi stress sehingga daya tahan tubuh menurun. Pada saat sapi tiba di kandang penyebab lainnya yang dapat memperparah peneumonia antaranya:
Tempat yang lembab atau berdebu,
Ventilasi udara yang jelek,
Penempatan hewan dari berbagai umur dalam satu tempat,
Jumlah hewan yang berlebihan dalam satu kandang,
Hewan yang berdesak-desakan (over crowding),
Pemasukan hewan-hewan yang tidak beraturan (besar kecil dicampur)

Gejala Umum Penyakit Pneumonia/Radang Paru-Paru Pada Ternak Sapi :
Terlihat kesulitan dalam bernafas
Nafas pendek dan cepat (terengah-engah)
Batuk
Keluar cairan seperti ingus pada hidung
Demam dengan suhu 42 derajat celcius
Tidak banyak bergerak, terlihat lesu dan sering berbaring dilantai
Terlihat gelisah
Nafsu makan dan minum berkurang

Pencegahan yang dapat dilakukan dengan melakukan sanitasi kandang yang benar, pengawasan yang ketat terhadap sapi yang sehat. Pisahkan sapi yang sakit pada kandang karantina. Segera berikan vaksin antibiotic untuk memutus siklus pertumbuhan penyebab pneumonia seperti vaksin tylocin dan vitamin (Biodin). Bila telat penanganan sapi dalam beberapa jam dapat mati.

Adapun spesifitas agen penyebab pneumonia adalah :
Virus : Infectious Bovine Rhinotracheitis, Malignant Catharhal Fever, Bovine Fever, Bovine Herpes V-4, Adenovirus, Parainfluenza-3, Bovine respiratory Virus, Bovine Virus Diarrhea-Mucosal Disease, Rhino-virus, Rota-virus.
Bakteri : Pasteurella multocida,Pasturella hemolitica, Streptococcus sp, Mycobacterium tuberculosa, Corynobacterium pyogenes, Hemophilus somnus
Jamur: Chlamydia psittaci
Mycoplasma : Mycoplasma mycoides, Mycoplasma dispar, Mycoplasma bovis
Parasit : Dictocaulus viviparus

Cara Mengobati Pneumonia Pada Ternak Sapi
Pengawasan pada hewan yang masih sehat sangatlah penting, penderita ditempatkan dikandang yang bersih, hangat dan ventilasi yang baik. Pemberian Ca boroglukonat dan vitamin C serta penangan dehidrasi sangat berguna untuk terapi pneumonia.

Terapi sangat efektif dilakukan jika telah mengetahui agen penyebab pneumonia. Pengobatan dengan antibiotik berspektrum luas.

Senin, 16 Juli 2018

penggemukan sapi potong menggunakan bahan pakan lokal

PENGGEMUKAN SAPI POTONG BERBASIS PAKAN LOKAL

PENDAHULUAN

Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak strategis yang dapat mendukung stabilitas nasional. Pada tahun 2017, produksi daging nasional baru tercapai 354.770 ton sedangkan perkiraan kebutuhan mencapai 604.968 ton, sehingga untuk memenuhi kekurangannya 30 – 40 % harus dipenuhi dari impor baik dalam bentuk sapi bakalan maupun dalam bentuk daging. Pasokan impor daging diprediksikan semakin meningkat dan mencapai 70% pada tahun 2020. Peningkatan impor sapi potong dan daging merupakan indikasi peningkatan permintaan daging atau ketidaksanggupan pemenuhan kebutuhan yang harus disuplai dari sapi potong dalam negeri. Pemaksaan pemenuhan kebutuhan daging dari sapi lokal merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan pengurasan sapi potong lokal.
Pencapaian program kecukupan daging nasional pada tahun 2015 juga bergantung kepada ketersediaan sapi potong yang berkualitas. Dengan penyediaan bibit unggul diharapkan dapat meningkatkan produktivitas sapi potong lokal. Sapi potong lokal sangat potensial dengan berbagai keunggulannya di daerah tropis.
Hasil – hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 70% produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sedangkan faktor genetik hanya mempengaruhi 30%. Diantara faktor lingkungan tersebut, aspek pakan mempunyai pengaruh paling besar yaitu sekitar 60%. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi namun apabila pemberian tidak memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas maka produksi yang tinggi tidak akan tercapai. Disamping pengaruhnya yang besar terhadap produktivitas ternak, faktor pakan juga merupakan biaya terbesar dalam usaha peternakan. Biaya pakan ini dapat mencapai 60 – 80 % dari keseluruhan biaya produksi.
Dalam perjalanannya kondisi sapi potong lokal sekarang ini telah mengalami degradasi produksi dan banyak didapatkan dalam bentuk kecil. Penurunan diakibatkan oleh turunnya mutu genetik sapi potong lokal. Kesemuanya ini antara lain diakibatkan oleh pemotongan ternak yang memiliki kondisi baik yang digunakan seebagai standar pasar ternak sapi potong dan jumlah pemotongan induk/ betina produktif mencapai 40%. Genotip sapi potong lokal yang ada memiliki keragaman yang luas, sehingga cukup memiliki potensi genetik yang unggul dan siap untuk ditingkatkan potensi genetiknya secara maksimal untuk mendapatkan keturunan superior.
Potensi sumber daya usaha sapi potong di indonesia seperti pakan dan bangsa sapi lokal merupakan faktor yang penting sebagai sumber keunggulan komparatif usaha sapi potong. Berkenaan dengan pakan, pola pemeliharaan sistem gembala bebas atau gembala diikat walaupun lebih mengandalkan pakan hijauan, ternyata mampu memberikan keunggulan dalam ketersediaan pakan yang mudah. Hal tersebut tercermin dari nilai DHC usaha sapi potong sistem gembala yang kurang dari satu. Ketersediaan limbah pertanian sebagai asupan pakan juga merupakan sumber daya saing usaha sapi potong di indonesia.
Pakan adalah semua yang bisa dimakan oleh ternak dan tidak mengganggu kesehatannya. Pakan merupakan sumber energi dan materi bagi pertumbuhan dan kehidupan makhluk hidup. Pakan lokal adalah setiap bahan baku yang merupakan sumber daya lokal yang berpotensi dimanfaatkan sebagai pakan secara efisien oleh ternak, baik sebagai suplemen, komponen konsentrat atau pakan dasar. Pakan alami adalah pakan yang berasal dari alam, sedangkan pakan buatan adalah pakan yang disiapkan oleh manusia dengan bahan dan komposisi tertentu yang sengaja disiapkan oleh manusia.
Efisiensi usaha pembesaran pejantan sangat dipengaruhi oleh faktor sapi bakalan dan tata laksana pemeliharaan terutama pakan. Bagi usaha pembesaran pejantan komersial seperti halnya feedlot atau usaha yang dilaksanakan secara intensif maka kualitas pakan diatur sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan tingat pertumbuhan (PBBH) yang optimal. Pakan lokal untuk ternak ruminansia di indonesia masih didominasi oleh limbah pertanian. Secara umum, limbah pertanian mempunyai kualitas yang rendah (rendah kandungan protein, energi, vitamin, dan mineral) sebaliknya mengandung serat kasar yang tinggi sehingga salah satu cara mengoptimalkan pemanfaatannya adalah dengan meningkatkan kapasitas saluran pencernaan yang meliputi rekayasa komposisi mikroorganisme dan serta optimalisasi fungsi saluran pencernaan ( Nur A. Yenny, 2004)..
Silase dan daun pelepah sawit bisa mensubtitusi sebagian penggunaan hijauan rumput dalam pemeliharaan sapi simental. Meskipun tingkat palatabilitas silase pelepah dan daun sawit lebih rendah dibandingkan hijauan rumput namun tidak mempengaruhi tingkat pertumbuhan ternak. Perlu meningkatkan palatabilitas silase pelepah dan daun sawit sehingga pemanfaatannya sebagai sumber pakan dasar bisa meningkat. Hal ini bermanfaat untuk menghadapi kekurangan produksi hijauan rumput alam dalam pemeliharaan sapi simental (A.D. Ratna, 2013).

PEMBAHASAN

Kebutuhan daging sapi terus meningkat seiring makin baiknya kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk, dan meningkatnya daya beli masyarakat. Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri yaitu dengan meningkatkan populasi, produksi, dan produktivitas sapi potong.
Perkembangan usaha sapi potong dalam bentuk penggemukan sapi (feedloot) didorong oleh permintaan daging yang terus menerus meningkat dari tahun ke tahun. Bentuk usaha ternak sapi potong ini bisa dilakukan secara perorangan maupun dalam bentuk perusahaan skala besar, namun ada juga yang mengusahakan penggemukan sapi ini secara berkelompok.
Indonesia sebagai negara kepulauan, tidak mempunyai areal yang luas untuk menggembalakan ternak, kecuali di NTT, NTB, dan beberapa wilayah lain di kawasan timur indonesia. Di samping itu, produksi biji – bijian masih sangat terbatas, bahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan masih harus mengimpor dalam jumlah yang cukup besar. Oleh karena itu pengembangan ternak ruminansia di Indonesia harus memanfaatkan sumber serat, energi dan protein yang melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal yaitu limbah pertanian, perkebunan dan agroindustri. Limbah ini biasanya mengandung faktor anti nutrisi, atau kandungan serat yang tinggi, sehingga kurang baik untuk ternak.
Guna mencukupi kebutuhan nutrisi ternak sapi untuk pertumbuhan sesuai dengan kemampuan genetik, maka perlu dilengkapi dengan ransum yang memenuhi kebutuhan nutrien tersebut. Formulasi ransum dapat dilakukan menggunakan bahan – bahan pakan yang tersedia di lokasi seperti dedak padi kualitas rendah, jagung afkir, bungkil kelapa yang kurang layak untuk monogastrik, bungkil inti sawit, dan lain sebagainya.
Inovasi teknologi pakan murah berbasis sumberdaya lokal dan limbah pertanian, perkebunan dan agro industri perlu dilakukan dalam rangka menyediakan sumber bahan baku pakan bagi ternak ruminansia (sapi) secara berkelanjutan. Hal ini menjadi bahan dasar dalam penyusunan pakan komplit yang murah dan berkualitas sehingga terjangkau oleh masyarakat. Inovasi sistem integrasi tanaman-ternak melalui pendekatan zero waste perlu dilakukan untuk dapat mencapai usaha peternakan yang  mendekati zero cost. Usaha cow calf operation yang terintegrasi dengan usaha pembesaran atau penggemukan hanya dapat terus berkembang apabila biaya pakan dapat ditekan serendah mungkin, atau eksternal input diminimalkan (Dwiyanto et al, 20004).
Produksi jerami padi yang melimpah merupakan sumber pakan ternak ruminansia yang cukup menjanjikan. Namun, disebabkan oleh kandungan protein yang rendah serta tingginya silika dan lignin mengakibatkan rendahnya kecernaan pada ruminansia. Nilai nutrisi jerami padi dapat ditingkatkan dengan berbagai metode perlakuan. Meskipun demikian, berbagai metode perlakuan tersebut tampaknya tidak mampu memenuhi kebutuhan basal ternak sehingga tidak dapat digunakan sebagai pakan tunggal kecuali diberikan tambahan pakan dari sumber yang lain (Yanuartono, 2017).
Penggunaan jerami padi menggunakan bakteri selulolitik sebagai stok pakan dasar yang terkadang ditambahkan konsentrat berupa bekatul ditambah garam dan air dicomborkan. Perbaikan manajemen produksi dalam penggemukan sapi potong secara intensif dapat menggunakan bahan pakan limbah jerami padi difermentasi dahulu agar lebih berkualitas, bergizi dan palatabel untuk meningkatkan pertumbuhan yang berdampak pada pendapatan dan keuntungan peternak (Ali U, 2017).


Jerami padi hasil fermentasi dengan menggunakan probion berpeluang sebagai pakan pengganti rumput Gajah dan mampu mempertahankan konsumsi, kecernaan, pertambahan bobot hidup harian serta efisiensi penggunaan pakan sapi Simmental (Antonius, 2009).

Pengembangan pertanian melalui program intensifikasi pertanian untuk menjaga ketahanan pangan menyebabkan produksi pangan meningkat sekaligus produksi limbah tanaman pangan juga meningkat, hal ini membuat semakin meningkatnya ketersediaan hijauan makanan ternak. Program intesifikasi tanaman pangan ini tentunya sangat menguntungkan bagi penyediaan hijauan makanan ternak. Selain itu juga pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak akan mengurangi pencemaran lingkungan (Umela, 2016).

Pakan adalah kebutuhan mutlak yang harus selalu diperhatikan dalam pemeliharaan ternak ruminansia yaitu sapi, kerbau, kambing, dan domba. Namun ketersediaan pakan selalu menjadi kendala terutama di saat musim kemarau, pakan berupa hijauan segar sulit didapatkan, yang ada hanya sisa – sisa tanaman berupa jerami. Satu diantaranya adalah jerami jagung yang menjadi potensi besar sebagai sumber pakan, hanya saja kualitasnya rendah. Untuk meningkatkan kualitas dan manfaat jerami jagung maka diperlukan teknologi yang mudah dan sederhana yang dapat dilakukan petani. Oleh karena itu diperlukan perlakuan agar kualitasnya dapat ditingkatkan antara lain dengan teknologi amoniasi-molase. Amoniasi adalah cara perbaikan mutu pakan melalui pemberian urea sebagai NPN (Non protein nitrogen), sedangkan molase adalah hasil samping agroindustri dalam proses pembuatan gula (tetes tebu) yang bermanfaat sebagai sumber energi yang sangat dibutuhkan oleh ternak (Bahar S, 2016).

Pada penelitian kecernaan jerami jagung manado kuning dan jerami jagung hibrida jaya 3 pada sapi PO di dapatkan bahwa konsumsi bahan kering, kecernaan bahan kering, kecernaan protein kasar dan kecernaan NDF jerami jagung manado kuning lebih tinggi dibanding dengan jerami jagung hibrida jaya 3 (Tuwaidan N.W.H, 2015).

Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam penggemukan sapi potong. Rumput raja  dan tebon jagung merupakan hijauan yang sering diberikan pada sapi potong. Pemberian rumput raja dalam ransum maksimal 50% dan pemberian tebon jagung  minimal 50% dapat memberikan performans yang baik pada sapi PO betina (Heryanto, 2016).
Kulit buah kakao mengandung senyawa polifenol dan flavanoid. Senyawa polifenol dan flavanoid ini memiliki aktivitas antioksidan. Senyawa aktif yang diekstraksi dari kulit buah kakao baik dari buah yang masak maupun yang masih muda ditentukan aktivitas antioksidannya menggunakan metode DPPH. Aktivitas antioksidan kulit buah kakao masak yang tertinggi diperoleh dari fraksi etil asetat (A. Jusmiati, 2015).

Fermentasi merupakan salah satu teknologi unntuk meningkatkan nilai gizi pakan berserat tinggi. Fermentasi dapat menghidrolisis protein, lemak, sellulosa, lignin, dan polisakarida lain. Sehingga bahan yang akan difermentasi akan mempunyai daya cerna yang lebih tinggi dan dapat meningkatkan total TDN. Manfaat fermentasi buah kakao adalah meningkatkan daya cerna, meningkatkan kadar protein, menurunkan kadar lignin, menekan efek buruk racun theobromine pada kulit buah kakao, dan meningkatkan nilai gizi pakan.  Untuk ternak sapi dan kambing pemberian fermentasi kulit buah kakao dapat diberikan sebanyak 0,7 – 1 % BB (Anas S., 2011).

Pemanfaatan pakan lokal dalam bentuk hijauan dan konsentrat yang diberikan pada sapi bali dara memberikan pengaruh pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang lebih baik dibandingkan dengan hanya diberi hijauan saja. Demikian juga dengan analisis ekonomi menunjukkan bahwa pemberian hijauan dan konsentrat memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan hanya diberi hijauan saja (Nurhayu, 2011).

Sapi potong pada kelompok tani ternak di pedesaan ditujukan untuk menghasilkan pedet dan bakalan (cow-calf operation) serta usaha penggemukan (fattening). Produktivitas sapi cow-calf operation menujukkan hasil sangat rendah dengan produktivitas pedet 6% pada kebuntingan kedua dan tingkat kematian pedet mencapai 25%. Hasil penggemukan sapi potong belum mencapai optimal yang diindikasikan kondisi BCS berkisar 3 sampai 6 dengan modus 4 (Peranakan Ongole dan Sumba Ongole) dan 5 (Persilangan Simental dan Charolois). Penerapan Good Farming Practice dengan perhatian khusus pada aspek pemilihan bibit dan penguatan pakan sangat direkomendasikan untuk meningkatkan produktivitas sapi potong pada kelompok tani ternak di pedesaan (Sodiq, 2012).

Produktivitas hijauan padang penggembalaan musim kemarau yang didominasi oleh rumput alang-alang. Perhitungan kapasitas tampung pada kecamatan Mata Usu masih under grazing dan Lantari Jaya dengan jumlah ternak yang digembalakan cenderung berlebihan (Over Grazing). Pola pemeliharaan yang tidak terkontrol sehingga berpengaruh langsung pada rendahnya produktivitas ternak, terlihat masih tingginya angka ternak terserang penyakit serta angka kematian anak dan dewasa masih tinggi. Pemberian pakan tambahan tidak berpengaruh terhadap pertambahan berat badan ternak (Rauf, 2015).

Sebaik apapun inovasi teknologi yang diberikan, tanpa bimbingan yang berkesinambungan sampai petani peternak mempraktikan dan merasakan manfaat dari penerapan teknologi tersebut, maka penyuluhan yang dilakukan hanya akan sebatas teori saja. Percontohan budidaya rumput dilaksanakan di lahan kelompok peternak Desa Purwadadi Barat. Pembuatan Urea Molasses Blok belum dilaksanakan karena merupakan hal yang baru bagi peternak di Pasirbungur dan Purwadadi Barat, sehingga umumnya mereka belum berani untuk mencobanya sebelum melihat sendiri praktek dan keberhasilannya di peternak sekitar mereka. yang telah memfasilitasi dan mendanai kegiatan, serta aparat Desa Pasirbungur dan Purwadadi Barat yang telah membantu kelancaran kegiatan ini (Susilawati, 2014).

KESIMPULAN

1. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak strategis yang dapat mendukung stabilitas nasional.
2. Bagi usaha pembesaran pejantan komersial seperti halnya feedlot atau usaha yang dilaksanakan secara intensif maka kualitas pakan diatur sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan tingat pertumbuhan (PBBH) yang optimal.
3. Pakan adalah semua yang bisa dimakan oleh ternak dan tidak mengganggu kesehatannya.
4. Pakan lokal adalah setiap bahan baku yang merupakan sumber daya lokal yang berpotensi dimanfaatkan sebagai pakan secara efisien oleh ternak, baik sebagai suplemen, komponen konsentrat atau pakan dasar.
5. Penggunaan pakan lokal dapat menghemat biaya pakan dan ketersediaannya mudah di dapat.


Daftar Pustaka
Dwiyanto K., D. Sitompul, I. Manti, I. W. Mathius, dan Soentoro. 2004. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit – Sapi. Pros. Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit Sapi.
Dwiyanto K., dan P. Atien. 2008. Keberhasilan Pemanfaatan Sapi Bali Berbasis Pakan Lokal Dalam Pengembangan Usaha Sapi Potong Di Indonesia. Jurnal Wartazoa Vol. 18 No. 1 Th. 2008.
Ali U. Dan M. Badat. 2017. Upaya Pengembangan Sapi Potong Menggunakan Pakan Basal Jerami Padi di Desa Wonokerto, Dukun, Gresik. Jurnal Dedikasi, ISSN 1693 – 3214. Volume 14, Mei 2017.
Heryanto, K. Maaruf, S.S. Malalantang, M. R. Waani. 2016. Pengaruh Pemberian Rumput Raja (Pennisetum Purpupoides) dan Tebon Jagung Terhadap Performans Sapi Peranakan Ongole (PO) Betina. Jurnal Zootek (“Zootek”Journal) Vol. 36 No.1 : 123 – 130 ISSN 0852 – 2626.
Anas S, Zubair A., dan R. Dwi. 2011. Kajian Pemberian Pakan Kulit Kakao Fermentasi Terhadap Pertumbuhan Sapi Bali. Jurnal Agrisistem Vol. 7 No. 2 : 79 – 86.
Nur A. Yenny, dan U. Uum. 2004. Pemberian Pakan Berbahan Biomass Lokal Pada Peternak Sapi Potong Komersial : Studi Perbaikan Pakan Pada Usaha Penggemukan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004.
A. D. Ratna, Y. Hendri, dan A. M. Bamualim. 2013. Respon Pertumbuhan Sapi Simental Yang Diberi Pakan Hasil Ikutan Industri Sawit di Sumatera Barat. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013.
A. Jusmiati, Rusli R., dan R. Laode. 2015. Aktivitas Antioksidan Kulit Buah Kakao Masak dan Kulit Buah Kakao Muda. Jurnal Sains dan Kesehatan.2015. Vol. 1 No. 1. P-ISSN: 2303-0267, e_ISSN: 2407-6082.
Umela S., dan B. Nurfitriyanti. 2016. Daya Dukung Jerami Jagung Sebagai Pakan Ternak Sapi Potong. Jurnal Jtech 2016, 4(1) 64 – 72.
Bahar S. 2016. Teknologi Pengolahan Jerami Jagung Untuk Pakan Ternak Ruminansia. Buletin Pertanian Perkotaan Volume 6 Nomor 2, 2016.
Tuwaidan N.W.H., Waani M.R., Rustandi, dan Malalantang S.S. 2015. Konsumsi Kecernaan Jerami Jagung Manado Kuning dan Jerami Jagung Hibrida Jaya 3 Pada Sapi PO. Jurnal Zootek (“Zootek”Journal) Vol. 35 No. 2 : 328-334 (Juli 2015) ISSN 0852 – 2626.

Jumat, 08 Juni 2018

ekstoparasit pada hewan dan kerugian yang ditimbulkannya


  1. Mengenal ekstoparasit pada hewan dan potensi kerugian yang ditimbulkannya

Ektoparasit (ektozoa) merupakan parasit yang berdasarkan tempat manifestasi parasitismenya terdapat di permukaan luar tubuh inang, termasuk di liang-liang dalam kulit atau ruang telinga luar. Kelompok parasit ini juga meliputi parasit yang sifatnya tidak menetap pada tubuh inang, tetapi datang - pergi di tubuh inang. Adanya sifat berpindah inang tentu tidak berarti ektoparasit tidak mempunyai preferensi terhadap inang. Seperti parasit lainnya, ektoparasit juga memiliki spesifikasi inang, inang pilihan, atau inang kesukaan.
Proses preferensi ektoparasit terhadap inang antara lain melalui fenomena adaptasi, baik adaptasi morfologis maupun biologis yang kompleks. Proses ini dapat diawali dari nenek moyang jenis ektoparasit tersebut, kemudian diturunkan kepada progeninya. Menurut teori heterogenitas, ektoparasit dan inang adalah dua individu yang berbeda jenis dan asal usulnya (Brotowidjoyo, 1987). Walaupun ektoparasit memilih inang tertentu untuk kelangsungan hidupnya, namun bukan berarti pada tubuh inang tersebut hanya terdapat kelompok ektoparasit yang sejenis. Weber (1982), menemukan dua kelompok artropoda ektoparasit, yaitu serangga (pinjal dan kutu), serta tungau (larva tungau, tungau dewasa, dan caplak) pada rodensia, khususnya tikus, baik tikus domestik, peridomestik, maupun silvatik.
Tungau, caplak, kutu dan pinjal tergabung dalam satu filum yang sama yaitu Arthropoda. Tungau dan caplak berada dibawah satu kelas (Arachnida) dan anak kelas yang sama yaitu Acari, namun keduanya tergolong dalam suku yang berbeda.  Caplak termasuk dalam golongan suku Ixodidae dan Argasidae sedangkan suku yang lain disebut tungau saja (Krantz, 1978).
Bagaimana dengan posisi kutu dan pinjal dalam klasifikasi?  Menurut Borror dkk. (1996) kutu dan pinjal termasuk dalam kelas Insekta (serangga) namun berbeda bangsa. Kutu seringkali dibagi menjadi dua bangsa yang terpisah yaitu Mallophaga (kutu penggigit) dan Anoplura (kutu penghisap). Kutu penghisap sering pula disebut “tuma” oleh masyarakat Indonesia. Ahli entomologi dari Inggris, Jerman dan Australia hanya mengenali satu bangsa tunggal yaitu Phthiráptera, dengan empat anak bangsa (salah satunya Anoplura).
Pinjal termasuk dalam bangsa Siphonaptera. Beberapa suku yang terdapat di Indonesia antara lain Pulicidae, Ischnopsyllidae, Hystrichopsyllidae, Pygiopsyllidae, Ceratophyllidae dan Leptosyllidae. Pinjal tikus dan kucing yang umum ditemukan termasuk dalam Pulicidae.




Tungau (Mite) dan Caplak (Tick)
Tungau merupakan binatang yang sangat kecil seperti kutu dan tidak tampak oleh mata. Tungau adalah sekelompok hewan kecil bertungkai delapan yang bersama-sama dengan caplak, menjadi anggota superordo Acarina.
Sama seperti anggota arachnida lainnya (laba-laba, kalajengking dll.), tubuh tungau dan caplak terbagi menjadi dua bagian, yaitu: bagian depan disebut cephalothorax (prosoma) dan bagian belakang tubuh disebut abdomen (ophistosoma).Meskipun demikian, tidak terdapat batas yang jelas diantara dua bagian tubuh tersebut. Tungau dan caplak dewasa mempunyai alat-alat tubuh pada arachnida seperti khelisera dan palpus (alat sensori) yang terdapat di bagian , dan enathosoma/capitulum, dan empat pasang kaki (Kendall, 2008).
Sebagian besar tungau berukuran sangat kecil, memiliki panjang kurang dari 1 mm. Namun ada pula tungau besar yang dapat mencapai panjang 7.000 µm. Pada gnathosoma tungau terdapat epistoma, tritosternum (berfungsi dalam transport cairan tubuh), palpus yang beruas- ruas, khelisera, corniculi, hipostoma berseta yang  masing-masing sangat beragam dalam hal bentuk dan jumlah ruasnya tergantung pada kelompoknya.
Khelisera pada tungau teradaptasi untuk menusuk, menghisap atau mengunyah. Tubuh dilindungi oleh dorsal shield/scutum. Tungau memiliki stigma (alat pertukaran O2 dan CO2) yang letaknya bervariasi yaitu di punggung dorsal, antara pangkal kaki/ coxa 2 dan 3, di sebelah coxa ke tiga atau diantara khelisera.
Letak stigma menjadi kunci penting untuk membedakan bangsa tungau. Caplak memiliki ukuran lebih besar dari pada tungau. Panjang tubuh dapat mencapai 2.000-30.000 µm. Selain ukurannya, caplak dibedakan dari tungau berdasarkan letak stigma yang berada di bawah coxa (pangkal kaki) ke empat. Caplak juga memiliki karakter-karakter khas tersendiri pada hipostoma memiliki ocelli/mata, tetapi tidak memiliki epistoma, corniculi dan tritosternum. Caplak dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu caplak berkulit keras/ hard tick (Ixodidae) dan caplak berkulit lunak/soft tick (Argasidae) karena tidak memiliki scutum (Krantz, 1978; Evans, 1992).
Hipostoma pada caplak merupakan suatu struktur yang terdiri dari gigi- gigi yang tersusun teratur dan menonjol. Struktur inilah yang digunakan untuk menusuk tubuh induk semang ketika caplak menghisap darah. Hipostoma dilindumgi oleh khelisera (Vredevoe, 1997).

Kutu (Lice)
kutu adalah insekta yang tubuhnya pipih dorso-ventral, memiliki 6 ( 3 pasang) kaki, tidak bersayap, bersifat hospes  spesifik (hanya bisa hidup pada hospes  tertentu) dan umumnya pada tempat yang tertentu pula. Kutu dapat dibedakan menjadi : (1) kutu penggigit (“bitting lice”) yang kepalanya besar dan melebar, memakan epidermis kulit, remukan bulu, sisik bulu, kerak kulit dan sedimen yang mengering dan (2) kutu penghisap (“sucking lice”) dengan bentuk kepala yang kecil dan meruncing, makanannya adalah darah atau cairan. Dua kelompok kutu yaitu kutu penghisap/ tuma dan kutu penggigit memiliki ciri-ciri morfologiyang berbeda. Ukuran tubuh kutu penghisap mencapai 0,4-6,5 mm; kepala kutu penghisap biasanya lebih sempit daripada protoraksnya; sungut beruas-ruas; mata mereduksi dan bagian-bagian mulut haustellat. Tuma memiliki tiga stilet penusuk (dorsal, tengah dan ventral) pada bagian mulutnya dan satu rostrum pendek pada ujung anterior kepala (Borror dkk., 1996).
Dari tempat itu tiga stilet penusuk dijulurkan. Stilet tersebut kira-kira panjangnya sama dengan kepala dan apabila tidak dipakai dapat ditarik masuk ke dalam satu struktur seperti kantung panjang di bawah saluran pencernaan. Stilet dorsal berfungsi sebagai saluran makanan. Stilet tengah mengandung air liur dan berfungsi sebagai hipofaring, sedangkan stilet ventral sebagai penusuk utama diperkirakan berfungsi sebagai labium. Kaki-kaki kutu penghisap pendek dan memiliki cakar pengait yang termodifikasi untuk melekat pada induk semang. Kutu penggigit bertubuh pipih; berukuran tubuh 2-6 mm; bagian mulut mandibulat; mata majemuk mereduksi; lebar kepala sama atau lebih dengan protoraksnya; tarsi beruas 2-5 dan tidak memiliki cerci (Elzinga, 1978).

Pinjal (Flea)
Pinjal merupakan salah satu parasit yang paling sering ditemui pada hewan kesayangan baik anjing maupun kucing. Meskipun ukurannya yang kecil dan kadang tidak disadari pemilik hewan karena tidak menyebabkan gangguan kesehatan hewan yang serius, namun perlu diperhatikan bahwa dalam jumlah besar kutu dapat mengakibatkan kerusakan kulit yang parah bahkan menjadi vektor pembawa penyakit tertentu  (Anonim, 2015).
Pinjal berukuran kecil dengan panjang 1,5-3,3 mm dan bergerak cepat. Biasanya berwarna gelap (misalnya, cokelat kemerahan untuk kutu kucing). Pinjal merupakan serangga bersayap dengan bagian-bagian mulut seperti tabung yang digunakan untuk menghisap darah host mereka. Kaki pinjal berukuran panjang, sepasang kaki belakangnya digunakan untuk melompat (secara vertikal sampai 7 inch (18 cm); horizontal 13 inch (33 cm)). Pinjal merupakan kutu pelompat terbaik diantara kelompoknya. Tubuh pinjal bersifat lateral dikompresi yang memudahkan mereka untuk bergerak di antara rambut-rambut atau bulu di tubuh inang. Kulit tubuhnya keras, ditutupi oleh banyak bulu dan duri pendek yang mengarah ke belakang, dimana bulu dan duri ini memudahkan pergerakan mereka pada hostnya (Anonim, 2015).

III.4. Siklus Hidup
Proses reproduksi pada tungau dan caplak bervariasi. Siklus hidup yang dijalaninya berupa: telur-larva-nimpha-tungau/caplak dewasa. Larva tungau dan caplak hanya memiliki 3 pasang kaki. Larva caplak, setelah makan darah induk semang, akan tumbuh menjadi nimpha yang memiliki 4 pasang kaki. Nimpha makan darah dan akan tumbuh menjadi caplak dewasa. Setelah makan satu kali sampai kenyang, caplak dewasa betina akan bertelur kemudian ia mati. Caplak betina setelah kenyang menghisap darah dapat membengkak sampai 20-30 kali ukuran semula. Caplak memerlukan + 1 tahun untuk menyelesaikan satu siklus hidup di daerah tropis dan lebih dari satu tahun di daerah lebih dingin (Levine,1994).
Caplak dapat bertahan hidup selama berbulan- bulan tanpa makan jika belum mendapatkan induk semangnya. Caplak dapat hidup pada 1-3 induk semang berbeda selama fase pertumbuhannya sehingga dikenal dengan sebutan caplak berinduk semang satu, berinduk semang dua dan berinduk semang tiga (Vredevoe, 1997).
Kutu menjalani proses metamorfosa yang tidak sempurna, yaitu telur-nimpha-individu dewasa. Seluruh siklus hidup terjadi di tubuh induk semang. Telur kutu akan menempel pada rambut induk semang dengan bantuan zat perekat yang dihasilkannya. Sedangkan siklus hidup yang dijalani pinjal merupakan metamorfosa sempurna yaitu telur-larva-pupa-dewasa. Larva yang baru menetas tidak memiliki kaki. Fase pupa adalah fase yang tidak memerlukan makanan (Kadarsan dkk., 1983).

Potensi Kerugian yang Ditimbulkan
Dermatosis
Infestasi ektoparasit dapat mengakibatkan kerusakan kulit atau dermatosis sehingga menurunkan kualitas kulit. Infestasi ektoparasit juga menghilangkan rambut penutup dan menimbulkan suatu jaringan nekrotik pada kulit.

Penyebaran Berbagai Penyakit.
Ektoparasit berperan dalam penularan dan pemindahan berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, dan rickettsia. Beberapa diantaranya bersifat zoonosis. Seperti yang dijelaskan diberbaga sumber, contohnya Caplak berinang satu menularkan agen penyakit secara transovarial (melalui telur) sedangkan caplak berinang dua dan tiga secara transtadial (dari larva ke nimfa dan dari nimfa ke caplak dewasa) (Soulsby, 1982). Peran caplak sebagai penular penyakit dari hewan ke manusia telah banyak diketahui. Beberapa penyakit yang ditularkan caplak pada manusia adalah demam Q, demam hemoragi Crimean-Congo, penyakit lyme. Penyakit yang dapat ditularkan oleh caplak pada sapi antara lain anaplasmosis, babesiosis, theileriosis, ensefalitis, ehrlichiosis, dan lain-lain. Penyakit babesiosis yang ditularkan berbagai caplak dapat menyebabkan kematian 80-90% sapi dewasa yang tidak diobati dan 10-15% ternak muda umur satu sampai dua tahun. Kerugian lain yang timbul akibat penyakit ini adalah penurunan berat badan, penurunan produksi susu.
Beberapa penyakit yang ditimbulkan akibat infestasi caplak dan tungau antara lain: scrub thypus, rocky mountain spotted fever, tularemia, Lyme disease (Krantz, 1978). Infestasi pinjal bahkan pernah menyebabkan epidemi pes di daerah Boyolali, Jawa Tengah pada akhir 1960an. Hal ini disebabkan karena pinjal dapat menularkan bakteri Yersinia pestis, penyebab penyakit pes, dari tikus ke manusia (Kadarsan dkk., 1983).

Iritasi dan Penurunan Produksi
Gigitan Ektoparasit menyebabkan iritasi dan kegelisahan sehingga aktivitas dan waktu istirahat inang akan berkurang. Gigitan juga akan memperbesar faktor “stress” yaitu banyak energi yang terbuang, sehingga akan menurunkan efisiensi makanan dan sekaligus menghambat laju pertumbuhan badan dan daya produksi.

Pengendalian Ektoparasit
Pencegahan Penyakit Ektoparasit
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memperhatikan perkandangan yang baik misalnya ventilasi kandang, lantai kandang juga kontak dengan ternak lain yang sakit dan orang yang sakit. Sanitasi merupakan usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan perpindahan dari penyakit tersebut. Prinsip sanitasi yaitu bersih secara fisik, kimiawi dan mikrobiologi.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam sanitasi
1.      Ruang dan alat yang akan disanitasi
2.      Metiode sanitasi yang digunakan.
3.      Bahan/zat kimia serta aplikasinya.
4.      Monitoring program sanitasi.
5.      Harga bahan yang digunakan.
6.      Ketrampilan pekerja
7.      Sifat bahan/produk dimana kegiatan akan dilakukan.
Prinsip-prinsip dalam pencegahan penyakit yaitu pencegahan lebih baik daripada mengobati, ternak baru yang akan dimasukkan ke kandang harus dipastikan bebas dari berbagai penyakit, lingkungan kandang harus bersih dan kering, pembersihan kandang dan peralatan dilakukan setiap hari, pengendalian parasit internal (cacingan) dan eksternal (caplak, lalat dan pinjal). Jika ternak telah terinfeksi ektoparasit maka dapat dilakungan pembersihan dengan diambil satu-satu atau dengan cara Memandikan dalam hal ini tidak hanya dalam arti membersihkan dari kotoran yang melekat dibadan tapi juga sekaligus dilakukan pengobatan eksternal terhadap kuku, parasit, jamur, kudis, dan lain - lain yang sifatnya mengganggu kesehatan kulit. Untuk memandikan ternak sapi ini perlu disediakan fasilitas seperti dipping atau spraying. Akan tetapi hanya tindakan spraying yang sering dilakukan di peternakan tersebut, dan dipping tidak dilakukan dikarenakan tidak memiliki bak untuk memandikan ternak sapi. Dipping merupakan tindakan menyelamatkan ternak sapi ke dalam  ternak sapi yang berisi air dan zat kimia pembunuh eksternal parasit. Sapi akan berenang sepanjang bak tersebut dan badannya akan basah oleh air yang mengandung zat kimia.
Spraying adalah tindakan menyemprotkan zat kimia pembunuh eksternal parasit ke badan sapi secara mekanis maupun manual. Tujuan Dipping dan spraying pada dasarnya adalah sama yakni unutk membunuh eksternal parasit yang terdapat pada badan sapi. Akan tetapi, penggunaan dipping lebih ekonomis kerana cairan zat kimia dapat digunakan berulang-ulang, tetapi perlu diperhatikan apabila hujan turun dosis zat kimia akan menurun dan tidak efektif lagi akibat bertambahnya air. Keuntungan spraying adalah tidak berubahnya dosis zat kimia. Selain itu, penyemprotan dapat mencapai bagian tubuh yang mungkin terlewat apabila dilakukan dengan cara dipping, misalnya bagian telinga, dasar tanduk, dan bagian tepi lainnya.

Senin, 28 Mei 2018

praktikum pembuatan yoghurt dan uji kualitas susu segar

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Susu merupakan makanan sumber protein hewani yang berasal dari sapi sedang laktasi. Susu mempunyai nilai gizi tinggi yang yang dibutuhkan oleh tubuh seperti protein,lemak, hidrat arang, vitamin, dan mineral. Protein susu mempunyaimnilai biologis tinggi karena mengandung asam amino essensial yang lengkap dan seimbang sehingga lebih mudah dicerna tubuh.
Nilai biologis susu yang tinggi menyebabkan susu mudah terserang mikroorganisme, sehingga susu mudah rusak dan tidak tahan lama disimpan dalam bentuk segar. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan pengolahan lanjutan untuk susu menjadi produk yang lebih tahan lama namun tidak merusak nilai gizi yang terkandung di dalamnya.
Yoghurt merupakan salah satu bentuk pengolahan lanjutan dari susu yang dapat meningkatkan daya simpan susu dan juga meningkatkan nilai gizi yang terkandung didalamnya. Yoghurt dibuat dengan memeram susu yang diinokulasikan menggunakan bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat yang dapat digunakan sebagai starter untuk inokulasi yoghurt adalah lactobacillus bulgarius dan streptococcus thermophilus.
Penggunaan bakteri asam laktat sebagai starter yoghurt menyebabkan yoghurt yang dihasilkan menjadi asam. Proses fermentasi selain memberi efek pengawetan juga merubah rasa susu menjadi asam juga merubah struktur dan cita rasa susu. Hal ini membuat produk fermentasi lebih menarik, mudah dicerna, dan bergizi. Penambahan bahan lain seperti ekstrak buah, kacang, dan flavour dapat dilakukan untuk menambah cita rasa yoghurt agar lebih menarik.

Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum pembuatan yoghurt yaitu :
1. mahasiswa dapat mengetahui dan dapat membuat yoghurt.
2. mahasiswa dapat mengetahui bahan yang digunakan dalam pembuatan yoghurt.

Manfaat
Manfaat yang didapatkan dari kegiatan praktikum ini adalah dapat menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa mengenai pengolahan lanjutan untuk susu menjadi produk yang lebih tahan lama namun tidak merusak nilai gizi yang terkandung di dalamnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Yoghurt merupakan minuman berasal dari air susu yang telah mengalami proses fermentasi dengan menggunakan jasa mikroba (SNI, 1992). Proses fermentasi tersebut dapat mencegah pertumbuhan mikroba patogen dalam produk yang dihasilkannya, meningkatkan nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan asalnya dan dapat memecah laktosa susu menjadi senyawa yang lebih sederhana, sehingga mudah dicerna, juga terjadi penambahan beberapa vitamin seperti riboflavin, vitamin B12, dan provitamin A yang disintesis oleh mikroba pada proses fermentasi tersebut. Aktivitas enzim dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana enzim pada yoghurt dapat memecah lemak dan protein (andriani, 2008).

Yoghurt merupakan produk hasil fermentasi susu dengan menggunakan Streptococcus thermophilus dan lactobacillus bulgaricus sebagai starternya. Sebagai akibat dari inokulasi kedua starter tersebut dimungkinkan terjadinya degradasi laktosa dan produksi asam laktat yang berakibat pada penurunan pH dan terbentuknya gumpalan yoghurt. Degradasi laktosa menjadi glukosa dan galaktosa dengan sendirinya menurunkan potensi terjadinya intoleransi laktosa. Pada saat yang bersamaan, produksi asam laktat mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen penyebab berbagai penyakit terkait pangan. Saat ini, berbagai produk yoghurt dikembangkan dengan penambahan probiotik dan sering disebut bio – yoghurt (Indratiningsih, 2004).
Yoghurt dikenal memiliki peranan penting bagi kesehatan tubuh, di antaranya bermanfaat bagi penderita lactose intolerance yang merupakan gejala malabsorbsi laktosa yang banyak dialami oleh penduduk, khususnya anak-anak, di beberapa negara Asia dan Afrika. Yogurt juga mampu menurunkan kolesterol darah, menjaga kesehatan lambung dan mencegah kanker saluran pencernaan. Berbagai peranan tersebut terutama karena adanya bakteri yang digunakan dalam proses fermentasi yogurt (Andayani, 2007).
Tipe yoghurt dapat dibagi menjadi beberapa kategori, umurnnya berdasarkan kandungan lemak, metode pembuatan dan flavor. Yoghurt berdasarkan kandungan lemaknya dibedakan dalam tiga kategori yaitu: 1) yoghurt yang mengandung minimum 3,25oh lemak susu:2) yoghurt yang mengandung lemak susu 1-3,25Yo; dan 3) yoghurt rendah lemak yaitu bila mengandung lemak susu kurang dari l% (Tamime, 1990). Berdasarkan metode pembuatannya. tipe yoghurt dibagi menjadi set yoghurt dan stined yoghurt.

Susu yang akan difermentasi dipanaskan terlebih dulu dan pemanasan ini sangat bervariasi, baik dalam penggunaan susu maupun lama pemanasannya. Tapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menurunkan populasi mikroba dalam susu dan memberikan kondisi yang baik bagi pertumbuhan biakan yoghurt. Selain itu, pemanasan susu sebelum dibuat yoghurt juga bertujuan untuk mengurangi airnya, sehingga akan diperoleh yoghurt yang lebih padat.



Menurut Dewipadma (1978) bahwa mula-mula susu dipanaskan pada api yang kecil sampai volumenya menjadi 2/3 atau 1/2 dari volume semula, kemudian didinginkan sampai suhu 45 °C dan selanjutnya diinokulasi starter sebanyak 2 - 5 persen . Lalu diinkubasikan pada suhu 45 0C selama 4 – 6 jam, sampai keasaman mencapai 0,7 – 1,0 persen asam laktat .
Secara tradisional, yoghurt dibuat dari susu yang dipanaskan pada suhu tinggi selama beberapa waktu untuk menguapkan sebagian kandungan airnya sampai 1/3 bagian dari volume asal, namun sekarang proses penguapan dapat dilakukan pada suhu rendah dalam keadaan vakum.

Menurut Argandhina P. (2014) bahwa mutu yoghurt dapat dinilai dari beberapa parameter yang diantaranya yaitu pH, kekentalan, cita rasa, dan kesukaan. Nilai pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki suatu larutan. Nilai pH dipengaruhi oleh pertumbuhan bakteri asam laktat dalam proses fermentasi asam laktat dalam proses fermentasi yoghurt.
Kekentalan susu merupakan kontribusi dari keberadaan kasein atau misein dan globula lemak yang terdapat pada susu tersebut, selain itu ikatan diantara protein dan lemak dapat memberikan pengaruh terhadap kekentalan, perubahan kasein susu yang mempunyai sifat hidrophilik yang sama dengan jenis protein lain menyebabkan kekentalan meningkat (Sunarlim et al., 2007). Asam laktat yang dihasilkan selama proses fermentasi dapat meningkatkan cita rasa dan meningkatkan keasaman atau menurunkan pH nya (Winarno, 2007).

BAB III
MATERI DAN METODE
A. Alat dan Bahan
1. Alat
a.gelas ukur k. Thermometer
b. tabung reaksi l. corong
c. kapas m. kompor
d. waterbath n. Beaker glass
 e. Laktodesimeter o. pengaduk
f. erlenmeyer p. panci
g. buret q. Labu ukur
h. panci r. Pipet tetes
i. pengaduk s. Rak tabung
j. toples
2. Bahan
a. Susu Segar 0,5 liter g. Susu skim 50 gr
b. alkohol 70% 5 ml h. Yoghurt plan 3 sendok
c. phenopthaline 10 tetes
d. NaOH
e. methylene blue
f. Air

B. Cara Kerja
1. Pembuatan Yoghurt
Memanaskan susu pada suhu 900C .
Menambahkan susu skim
Mendinginkan hingga suhu 450C
Menginokulasi dengan streptococcus thermophilus dan lactobacillus bulgaricus dengan perbandingan 1 : 1
Menuangkan dalam wadah / toples
Menginkubasi pada suhu 450C selama 4 – 6 jam atau pada suhu kamar selama 12 jam
yoghurt
2. Uji Kimia Susu
a. Uji Reduktase (MBRT)
Mengambil 10 ml Susu dan menambahkan 2 tetes methylene blue

Menghomogenkan

Menyimpan ke dalam waterbath selama 2 – 4 jam.
b. Uji Alkohol
Mengambil 5 ml susu dan manambahkan 5 ml alkohol

Menghomogenkan

Mengamati hasil
c. Uji Keasaman (Acidity Test)
Mengambil 9 ml susu dan menambahkan 10 tetes indikator PP (Phenopthaline)

Mentitrasi dengan NaOH hingga berwarna merah muda

3. Uji Fisik Susu
a. Uji BJ
Mengambil sampel susu 2/3 volume gelas ukur (60 ml)

Memasukkan alat laktodesimeter

Mengamati hasilnya
b. Uji Rebus
mengambil sampel 5 ml

merebus dalam air mendidih selama 5 menit

mengamati hasilnya

4. Uji Organoleptik
a. Warna, Bau, Rasa, dan Tekstur
menuangkan susu ke dalam gelas kimia lalu mengamati warna susu, melakukan penciuman susu
menuangkan susu ke tangan atau langsung ke mulut dan merasakan susu.
b. Kebersihan
mengambil susu 5 ml, 2 kali ulangan

menyaring susu diatas kapas

mengamati kebersihan pada kapas





BAB IV
HASIL dan Pembahasan
Uji Organoleptik Yoghrt :
Yoghurt Pabrik :
Warna : Putih susu
Tekstur : Kental
Rasa : Asam sepat dan sedikit manis
Bau : Aroma khas asam
Yoghurt hasil Praktikum :
Warna : Putih Kekuningan
Tekstur : Kental (Lebih encer)
Rasa : asam, gurih susu
Bau : Aroma Khas susu asam (seperti santan)
Hasil praktikum kelompok 2 :
Warna : putih kecoklatan
Tekstur : menggumpal/ kental
Rasa : asam, asin
Bau : keamisan
Hasil praktikum kelompok 3 :
Warna : putih kekuningan
Tekstur : cair, halus
Rasa : hambar, tawar, sedikit asam
Hasil praktikum kelompok 4 :
Warna : putih kekuningan
Tekstur : lebih encer dan lembut
Rasa : lebih asam
Bau : alkohol sangat menyengat
Hasil dari Praktikum uji kualitas susu
1. Uji Kimia
a. Uji Reduktase (MBRT)
b. Uji Alkohol
Hasil dari uji alkohol yang dilakukan yaitu tidak terjadi penggumpalan di dinding tabung reaksi atau hasil uji negatif.
c. Uji Keasaman
hasil dari uji keasaman yaitu :
Asam Laktat = V. NaOH x N (NaOH) x 90/1000 x 100%
V. Sampel
= 2,02 x 0,1 x 0,09   X 100%
9
= 0,202%
Starndar keasaman susu segar yaitu 0,18 – 0,24 %. Jadi keasaman susu masih normal.
2. Uji Fisik
a. Uji BJ
hasil dari uji BJ yaitu :
BJ = 1 + skala/1000 + [(T-27,5) x 0,0002]
= 1 + 24/1000 + [(27 – 27,5) x 0,0002]
= 1 + 0,024 – 0,0001
= 1,0239
BJ susu maksimal yaitu 1,027 – 1,035. Jadi BJ susu masih normal
b. Uji Rebus
Hasil dari uji rebus yang dilakukan yaitu susu tidak menggumpal, tidak pecah, dan encer. Jadi susu baik untuk dikonsumsi.
3. Uji Organoleptik
a. Uji Warna = putih kekuningan (warna susu)
Uji Bau = bau khas susu sapi
Uji Rasa = Gurih, Asin, Agak Manis
Uji Tekstur = cair
b. Uji Kebersihan
hasil dari uji kebersihan yang dilakukan yaitu pada kapas tidak terdapat kotoran dengan nilai 8.

PEMBAHASAN
Yoghurt merupakan produk hasil fermentasi susu dengan menggunakan Streptococcus thermophilus dan lactobacillus bulgaricus sebagai starternya. Sebagai akibat dari inokulasi kedua starter tersebut dimungkinkan terjadinya degradasi laktosa dan produksi asam laktat yang berakibat pada penurunan pH dan terbentuknya gumpalan yoghurt. Degradasi laktosa menjadi glukosa dan galaktosa dengan sendirinya menurunkan potensi terjadinya intoleransi laktosa. Pada saat yang bersamaan, produksi asam laktat mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen penyebab berbagai penyakit terkait pangan. Saat ini, berbagai produk yoghurt dikembangkan dengan penambahan probiotik dan sering disebut bio – yoghurt (Indratiningsih, 2004).
Pada saat memasukkan yoghurt plan suhu susu harus didinginkan terlebih dahulu dari suhu saat pemanasan susu yaitu 900C menjadi sekitar 450C – 550C. Hal ini sangat penting karena jika yoghurt plan dimasukkan pada saat suhu susu masih  tinggi  sekitar 900C, maka bakteri yang terkandung dalam yoghurt plan tersebut akan mati sehingga pembuatan yoghurt akan mengalami kegagalan.
Pemanasan bertujuan untuk mematikan semua mikroba patogen yang ada pada susu yang dapat menghambat bakteri starter. Disamping itu juga untuk menurunkan kandungan air pada susu sehingga akhirnya akan diperoleh yoghurt dengan konsistensi yang cukup padat.
Proses pendinginan bertujuan untuk memberi kan kondisi yang optimum bagi bakteri starter. Pendinginan dilakukan sampai suhu 450C - 550C. Setelah suhu tercapai, maka bakteri starter dapat ditambahkan.
Lactobacillus lebih berperan dalam pembentukan aroma, sedangkan stertococcus lebih berperan dalam pembentukan cita rasa. Komponen susu yang paling berperan dalam pembuatan yoghurt adalah laktosa dan kasein. Laktosa yang merupakan carbohydre susu digunakan sebagai sumber energi selama pertumbuhan biakan bakteri dan akan menghasilkan asam laktat. Terbentuknya asam laktat dari hasil fermentasi laktosa menyebabkan keasaman susu meningkat atau pH menurun, kasein merupakan komponen terbanyak dalam susu yang sangat peka terhadap asam. Dalam kondisi keasaman yang rendah maka kasein menjadi tidak stabil sehingga kasein akan terokaqulasi membentuk padatan yang disebut yoghurt. Pada umumnya yoghurt yang baik memiliki total asam laktat 0,85% - sampai 0,95 % atau derajat keasaman 4 – 4,5.
Dari hasil praktikum yang dilakukan didapatkan yoghurt berwarna putih kekuningan, tekstur kental, rasa asam, gurih susu, dan memiliki bau khas susu asam. Menurut Argandhina P. (2014) bahwa mutu yoghurt dapat dinilai dari beberapa parameter yang diantaranya yaitu pH, kekentalan, cita rasa, dan kesukaan. Yoghurt yang baik memiliki ciri – ciri yaitu berwarna kekuningan dan berbau asam. Asam laktat yang dihasilkan selama proses fermentasi dapat meningkatkan cita rasa dan meningkatkan keasaman atau menurunkan pH nya (Winarno, 2007).
Mutu susu dapat diidentifikasi dengan menggunakan berbagai metode uji seperti uji reduktase, uji alkohol, uji keasaman, uji berat jenis, uji rebus, uji warna, iju bau, uji rasa, uji tekstur, dan uji kebersihan.
Hasil uji reduktase yang dilakukan yaitu warna biru hilang dan menjadi warna putih. Menurut sudarwanto (2005) menyatakan bahwa beberapa jenis bakteri dapat melakukan fermentasi padda susu sehingga merubah laktosa menjadi asam laktat sehingga susu tersebut mengalami penggumpalan jika masih menyatu dan homogen maka susu tersebut baik dan layak untuk dikonsumsi.
Hasil dari uji alkohol yang dilakukan yaitu tidak terjadi penggumpalan di dinding tabung reaksi atau hasil uji negatif. Prinsip dasar pada uji alkohol merupakan kestabilan sifat kolodial protein susu tergantung pada selubung atau mantel air yang menyelimuti butir – butir protein terutama kasein. Terdapat pada penambahan 5 ml alkohol 70% ke dalam susu segar setelah dihomogenkan tidak adanya gumpalan susu berarti negatif atau kualitas susu baik untuk dikonsumsi (Sudarwanto, 2005).
Derajat keasaman susu bernilai 0,202%, berarti susu dalam keadaan baik. Menurut SNI (1998) bahwa susu segar umumnya mempunyai derajat keasaman sekitar 0,18% sampai 0,24 %, penentuan derajat keasaman dapat dilakukan dengan menggunakan titrasi asam basa.
Dari hasil praktikum uji BJ yang dilakukan didapatkan BJ susu yaitu 1,0239. Menurut soeparno (2011) menyatakan bahwa variasi bobot spesifik susu yang baik yaitu berkisar antara 1, 027 sampai 1,035.
Dari uji rebus yang dilakukan yaitu susu tidak menggumpal, tidak pecah, dan encer. Sudarwanto (2005) menyatakan bahwa beberapa jenis bakteri dapat dilakukan fermentasi pada susu sehingga merubah laktosa menjadi asam laktat sehingga susu tersebut mengalami penggumpalan jika masih menyatu dan homogen maka susu tersebut baik dan layak untuk dikonsumsi.
Dari praktium yang dilakukan didapatkan bahwa warna susu yaitu putih kekuningan. Menurut maheswari (2004) bahwa warna susu yang normal adalah putih kekuningan. Warna putih disebabkan karena refleksi sinar matahari dengan adanya butiran – butiran lemak, protein, dan garam – garam di dalam susu. Warna kekuningan merupakan cerminan warna karoten dalam susu.
Hasil dari pengamatan dengan indra pembau didapatkan bau susu memiliki bau khas susu sapi. Menurut lukman (2009) bahwa susu segar yang normal mempunyai bau yang khas terutama karena adanya asam – asam lemak. Bau dapat mengalami perubahan dikarenakan adanya pertumbuhan mikroba dan bau dari sekeliling susu.
Dari hasil praktikum yang dilakukan yaitu susu berasa gurih, asin dan sedikit manis. Diyert (1997) menyatakan bahwa susu yang bagus dan layak dikonsumsi sedikit ada rasa manisnya selain untuk rasa juga dapat meningkatkan selera untuk minum susu.
Dari pengamatan yang dilakukan  bahwa susu dalam keadaan bersih karena tidak terdapat kotoran pada permukaan kapas. Soeparno (2011) menyataan bahwa susu dalam keadaan bersih yaitu susu yang apabila dilakukan penyaringan tidak terdapat kotoran.

KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Yoghurt merupakan produk hasil fermentasi susu dengan menggunakan Streptococcus thermophilus dan lactobacillus bulgaricus sebagai starternya.
2. Pada saat memasukkan yoghurt plan suhu susu harus didinginkan terlebih dahulu dari suhu saat pemanasan susu yaitu 900C menjadi sekitar 450C – 550C. Hal ini sangat penting karena jika yoghurt plan dimasukkan pada saat suhu susu masih  tinggi  sekitar 900C, maka bakteri yang terkandung dalam yoghurt plan tersebut akan mati sehingga pembuatan yoghurt akan mengalami kegagalan.
3. uji kualitas susu segar dapat dilakukan dengan uji secara kimia, uji fisik, dan uji organoleptik.
4. uji secara kimia terdiri dari uji reduktase (MBRT), uji alkohol, dan uji keasaman.
5. uji secara fisik meliputi uji berat jenis dan uji rebus.
6.  uji secara organoleptik meliputi uji warna, bau, rasa, tekstur, dan uji kebersihan.
B. Saran
Dalam kegiatan praktikum sebaiknya dilakukan secara hati – hati, fokus, dan sesuai dengan SOP yang berlaku. Karena kegagalan berawal dari ketidak hati – hatian.


Daftar pustaka
Andriani, Indrayati L., Tanuwiria U. H., Mayasari N. 2008.  Aktivitas Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium Terhadap Kualitas Yoghurt dan Penghambatannya pada Helicobacter pylori. Jurnal Bionatura, Vol. 10, No. 2, Juli 2008 : 129 – 140.

Dwipadma J. K. 1978. Pekerjaan Laboratorium Mikrobiologi Pangan. Departemen Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian IPB.
H. Maria. 2014. Pembuatan Yoghurt Menggunakan Starter Lactobacillus Bulgaricus dan Streptococcus Thermophilus. Pembekalan Alumni 3 Desember 2014. Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman.

Indratiningsih, Widodo, Oktavia S. S. I., dan W. Endang. 2004. Produksi Yoghurt Shitake (Yoshitake) Sebagai Pangan Kesehatan Berbasis Susu. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, Vol XV, No. 1, Th. 2004.
S. K. Dian, dkk. 2016. Pembuatan dan Aktivitas Anti Bakteri Yoghurt Hasil Fermentasi Tiga Bakteri (Lactobacillus Bulgaricus, Streptococcus Thermophilus, Lactobacillus Acidophilus). Jurnal Al – Kimia, Vol. 4, No. 2.
 Lukman D. W,. Dkk. 2009. Pemerahan dan Penanganan. Bogor : FKH, IPB.
Maheswari RRA. 2004.

Minggu, 27 Mei 2018

penggemukan sapi potong menggunakan pakan lokal

PENGGEMUKAN SAPI POTONG MENGGUNAKAN PAKAN LOKAL
SEBAGAI TUGAS MATA KULIAH TEKNOLOGI FEEDLOT

PENDAHULUAN

Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak strategis yang dapat mendukung stabilitas nasional. Pada tahun 2017, produksi daging nasional baru tercapai 354.770 ton sedangkan perkiraan kebutuhan mencapai 604.968 ton, sehingga untuk memenuhi kekurangannya 30 – 40 % harus dipenuhi dari impor baik dalam bentuk sapi bakalan maupun dalam bentuk daging. Pasokan impor daging diprediksikan semakin meningkat dan mencapai 70% pada tahun 2020. Peningkatan impor sapi potong dan daging merupakan indikasi peningkatan permintaan daging atau ketidaksanggupan pemenuhan kebutuhan yang harus disuplai dari sapi potong dalam negeri. Pemaksaan pemenuhan kebutuhan daging dari sapi lokal merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan pengurasan sapi potong lokal.
Pencapaian program kecukupan daging nasional pada tahun 2015 juga bergantung kepada ketersediaan sapi potong yang berkualitas. Dengan penyediaan bibit unggul diharapkan dapat meningkatkan produktivitas sapi potong lokal. Sapi potong lokal sangat potensial dengan berbagai keunggulannya di daerah tropis.
Hasil – hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 70% produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sedangkan faktor genetik hanya mempengaruhi 30%. Diantara faktor lingkungan tersebut, aspek pakan mempunyai pengaruh paling besar yaitu sekitar 60%. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi namun apabila pemberian tidak memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas maka produksi yang tinggi tidak akan tercapai. Disamping pengaruhnya yang besar terhadap produktivitas ternak, faktor pakan juga merupakan biaya terbesar dalam usaha peternakan. Biaya pakan ini dapat mencapai 60 – 80 % dari keseluruhan biaya produksi.
Dalam perjalanannya kondisi sapi potong lokal sekarang ini telah mengalami degradasi produksi dan banyak didapatkan dalam bentuk kecil. Penurunan diakibatkan oleh turunnya mutu genetik sapi potong lokal. Kesemuanya ini antara lain diakibatkan oleh pemotongan ternak yang memiliki kondisi baik yang digunakan seebagai standar pasar ternak sapi potong dan jumlah pemotongan induk/ betina produktif mencapai 40%. Genotip sapi potong lokal yang ada memiliki keragaman yang luas, sehingga cukup memiliki potensi genetik yang unggul dan siap untuk ditingkatkan potensi genetiknya secara maksimal untuk mendapatkan keturunan superior.
Potensi sumber daya usaha sapi potong di indonesia seperti pakan dan bangsa sapi lokal merupakan faktor yang penting sebagai sumber keunggulan komparatif usaha sapi potong. Berkenaan dengan pakan, pola pemeliharaan sistem gembala bebas atau gembala diikat walaupun lebih mengandalkan pakan hijauan, ternyata mampu memberikan keunggulan dalam ketersediaan pakan yang mudah. Hal tersebut tercermin dari nilai DHC usaha sapi potong sistem gembala yang kurang dari satu. Ketersediaan limbah pertanian sebagai asupan pakan juga merupakan sumber daya saing usaha sapi potong di indonesia.
Pakan adalah semua yang bisa dimakan oleh ternak dan tidak mengganggu kesehatannya. Pakan merupakan sumber energi dan materi bagi pertumbuhan dan kehidupan makhluk hidup. Pakan lokal adalah setiap bahan baku yang merupakan sumber daya lokal yang berpotensi dimanfaatkan sebagai pakan secara efisien oleh ternak, baik sebagai suplemen, komponen konsentrat atau pakan dasar. Pakan alami adalah pakan yang berasal dari alam, sedangkan pakan buatan adalah pakan yang disiapkan oleh manusia dengan bahan dan komposisi tertentu yang sengaja disiapkan oleh manusia.
Efisiensi usaha pembesaran pejantan sangat dipengaruhi oleh faktor sapi bakalan dan tata laksana pemeliharaan terutama pakan. Bagi usaha pembesaran pejantan komersial seperti halnya feedlot atau usaha yang dilaksanakan secara intensif maka kualitas pakan diatur sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan tingat pertumbuhan (PBBH) yang optimal. Pakan lokal untuk ternak ruminansia di indonesia masih didominasi oleh limbah pertanian. Secara umum, limbah pertanian mempunyai kualitas yang rendah (rendah kandungan protein, energi, vitamin, dan mineral) sebaliknya mengandung serat kasar yang tinggi sehingga salah satu cara mengoptimalkan pemanfaatannya adalah dengan meningkatkan kapasitas saluran pencernaan yang meliputi rekayasa komposisi mikroorganisme dan serta optimalisasi fungsi saluran pencernaan ( Nur A. Yenny, 2004)..
Silase dan daun pelepah sawit bisa mensubtitusi sebagian penggunaan hijauan rumput dalam pemeliharaan sapi simental. Meskipun tingkat palatabilitas silase pelepah dan daun sawit lebih rendah dibandingkan hijauan rumput namun tidak mempengaruhi tingkat pertumbuhan ternak. Perlu meningkatkan palatabilitas silase pelepah dan daun sawit sehingga pemanfaatannya sebagai sumber pakan dasar bisa meningkat. Hal ini bermanfaat untuk menghadapi kekurangan produksi hijauan rumput alam dalam pemeliharaan sapi simental (A.D. Ratna, 2013).



PEMBAHASAN

Kebutuhan daging sapi terus meningkat seiring makin baiknya kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk, dan meningkatnya daya beli masyarakat. Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri yaitu dengan meningkatkan populasi, produksi, dan produktivitas sapi potong.
Perkembangan usaha sapi potong dalam bentuk penggemukan sapi (feedloot) didorong oleh permintaan daging yang terus menerus meningkat dari tahun ke tahun. Bentuk usaha ternak sapi potong ini bisa dilakukan secara perorangan maupun dalam bentuk perusahaan skala besar, namun ada juga yang mengusahakan penggemukan sapi ini secara berkelompok.
Indonesia sebagai negara kepulauan, tidak mempunyai areal yang luas untuk menggembalakan ternak, kecuali di NTT, NTB, dan beberapa wilayah lain di kawasan timur indonesia. Di samping itu, produksi biji – bijian masih sangat terbatas, bahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan masih harus mengimpor dalam jumlah yang cukup besar. Oleh karena itu pengembangan ternak ruminansia di Indonesia harus memanfaatkan sumber serat, energi dan protein yang melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal yaitu limbah pertanian, perkebunan dan agroindustri. Limbah ini biasanya mengandung faktor anti nutrisi, atau kandungan serat yang tinggi, sehingga kurang baik untuk ternak.
Guna mencukupi kebutuhan nutrisi ternak sapi untuk pertumbuhan sesuai dengan kemampuan genetik, maka perlu dilengkapi dengan ransum yang memenuhi kebutuhan nutrien tersebut. Formulasi ransum dapat dilakukan menggunakan bahan – bahan pakan yang tersedia di lokasi seperti dedak padi kualitas rendah, jagung afkir, bungkil kelapa yang kurang layak untuk monogastrik, bungkil inti sawit, dan lain sebagainya.
Inovasi teknologi pakan murah berbasis sumberdaya lokal dan limbah pertanian, perkebunan dan agro industri perlu dilakukan dalam rangka menyediakan sumber bahan baku pakan bagi ternak ruminansia (sapi) secara berkelanjutan. Hal ini menjadi bahan dasar dalam penyusunan pakan komplit yang murah dan berkualitas sehingga terjangkau oleh masyarakat. Inovasi sistem integrasi tanaman-ternak melalui pendekatan zero waste perlu dilakukan untuk dapat mencapai usaha peternakan yang  mendekati zero cost. Usaha cow calf operation yang terintegrasi dengan usaha pembesaran atau penggemukan hanya dapat terus berkembang apabila biaya pakan dapat ditekan serendah mungkin, atau eksternal input diminimalkan (Dwiyanto et al, 20004).
Produksi jerami padi yang melimpah merupakan sumber pakan ternak ruminansia yang cukup menjanjikan. Namun, disebabkan oleh kandungan protein yang rendah serta tingginya silika dan lignin mengakibatkan rendahnya kecernaan pada ruminansia. Nilai nutrisi jerami padi dapat ditingkatkan dengan berbagai metode perlakuan. Meskipun demikian, berbagai metode perlakuan tersebut tampaknya tidak mampu memenuhi kebutuhan basal ternak sehingga tidak dapat digunakan sebagai pakan tunggal kecuali diberikan tambahan pakan dari sumber yang lain (Yanuartono, 2017).
Penggunaan jerami padi menggunakan bakteri selulolitik sebagai stok pakan dasar yang terkadang ditambahkan konsentrat berupa bekatul ditambah garam dan air dicomborkan. Perbaikan manajemen produksi dalam penggemukan sapi potong secara intensif dapat menggunakan bahan pakan limbah jerami padi difermentasi dahulu agar lebih berkualitas, bergizi dan palatabel untuk meningkatkan pertumbuhan yang berdampak pada pendapatan dan keuntungan peternak (Ali U, 2017).


Jerami padi hasil fermentasi dengan menggunakan probion berpeluang sebagai pakan pengganti rumput Gajah dan mampu mempertahankan konsumsi, kecernaan, pertambahan bobot hidup harian serta efisiensi penggunaan pakan sapi Simmental (Antonius, 2009).

Pengembangan pertanian melalui program intensifikasi pertanian untuk menjaga ketahanan pangan menyebabkan produksi pangan meningkat sekaligus produksi limbah tanaman pangan juga meningkat, hal ini membuat semakin meningkatnya ketersediaan hijauan makanan ternak. Program intesifikasi tanaman pangan ini tentunya sangat menguntungkan bagi penyediaan hijauan makanan ternak. Selain itu juga pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak akan mengurangi pencemaran lingkungan (Umela, 2016).

Pakan adalah kebutuhan mutlak yang harus selalu diperhatikan dalam pemeliharaan ternak ruminansia yaitu sapi, kerbau, kambing, dan domba. Namun ketersediaan pakan selalu menjadi kendala terutama di saat musim kemarau, pakan berupa hijauan segar sulit didapatkan, yang ada hanya sisa – sisa tanaman berupa jerami. Satu diantaranya adalah jerami jagung yang menjadi potensi besar sebagai sumber pakan, hanya saja kualitasnya rendah. Untuk meningkatkan kualitas dan manfaat jerami jagung maka diperlukan teknologi yang mudah dan sederhana yang dapat dilakukan petani. Oleh karena itu diperlukan perlakuan agar kualitasnya dapat ditingkatkan antara lain dengan teknologi amoniasi-molase. Amoniasi adalah cara perbaikan mutu pakan melalui pemberian urea sebagai NPN (Non protein nitrogen), sedangkan molase adalah hasil samping agroindustri dalam proses pembuatan gula (tetes tebu) yang bermanfaat sebagai sumber energi yang sangat dibutuhkan oleh ternak (Bahar S, 2016).

Pada penelitian kecernaan jerami jagung manado kuning dan jerami jagung hibrida jaya 3 pada sapi PO di dapatkan bahwa konsumsi bahan kering, kecernaan bahan kering, kecernaan protein kasar dan kecernaan NDF jerami jagung manado kuning lebih tinggi dibanding dengan jerami jagung hibrida jaya 3 (Tuwaidan N.W.H, 2015).

Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam penggemukan sapi potong. Rumput raja  dan tebon jagung merupakan hijauan yang sering diberikan pada sapi potong. Pemberian rumput raja dalam ransum maksimal 50% dan pemberian tebon jagung  minimal 50% dapat memberikan performans yang baik pada sapi PO betina (Heryanto, 2016).
Kulit buah kakao mengandung senyawa polifenol dan flavanoid. Senyawa polifenol dan flavanoid ini memiliki aktivitas antioksidan. Senyawa aktif yang diekstraksi dari kulit buah kakao baik dari buah yang masak maupun yang masih muda ditentukan aktivitas antioksidannya menggunakan metode DPPH. Aktivitas antioksidan kulit buah kakao masak yang tertinggi diperoleh dari fraksi etil asetat (A. Jusmiati, 2015).

Fermentasi merupakan salah satu teknologi unntuk meningkatkan nilai gizi pakan berserat tinggi. Fermentasi dapat menghidrolisis protein, lemak, sellulosa, lignin, dan polisakarida lain. Sehingga bahan yang akan difermentasi akan mempunyai daya cerna yang lebih tinggi dan dapat meningkatkan total TDN. Manfaat fermentasi buah kakao adalah meningkatkan daya cerna, meningkatkan kadar protein, menurunkan kadar lignin, menekan efek buruk racun theobromine pada kulit buah kakao, dan meningkatkan nilai gizi pakan.  Untuk ternak sapi dan kambing pemberian fermentasi kulit buah kakao dapat diberikan sebanyak 0,7 – 1 % BB (Anas S., 2011).

Pemanfaatan pakan lokal dalam bentuk hijauan dan konsentrat yang diberikan pada sapi bali dara memberikan pengaruh pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang lebih baik dibandingkan dengan hanya diberi hijauan saja. Demikian juga dengan analisis ekonomi menunjukkan bahwa pemberian hijauan dan konsentrat memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan hanya diberi hijauan saja (Nurhayu, 2011).

Sapi potong pada kelompok tani ternak di pedesaan ditujukan untuk menghasilkan pedet dan bakalan (cow-calf operation) serta usaha penggemukan (fattening). Produktivitas sapi cow-calf operation menujukkan hasil sangat rendah dengan produktivitas pedet 6% pada kebuntingan kedua dan tingkat kematian pedet mencapai 25%. Hasil penggemukan sapi potong belum mencapai optimal yang diindikasikan kondisi BCS berkisar 3 sampai 6 dengan modus 4 (Peranakan Ongole dan Sumba Ongole) dan 5 (Persilangan Simental dan Charolois). Penerapan Good Farming Practice dengan perhatian khusus pada aspek pemilihan bibit dan penguatan pakan sangat direkomendasikan untuk meningkatkan produktivitas sapi potong pada kelompok tani ternak di pedesaan (Sodiq, 2012).

Produktivitas hijauan padang penggembalaan musim kemarau yang didominasi oleh rumput alang-alang. Perhitungan kapasitas tampung pada kecamatan Mata Usu masih under grazing dan Lantari Jaya dengan jumlah ternak yang digembalakan cenderung berlebihan (Over Grazing). Pola pemeliharaan yang tidak terkontrol sehingga berpengaruh langsung pada rendahnya produktivitas ternak, terlihat masih tingginya angka ternak terserang penyakit serta angka kematian anak dan dewasa masih tinggi. Pemberian pakan tambahan tidak berpengaruh terhadap pertambahan berat badan ternak (Rauf, 2015).

Sebaik apapun inovasi teknologi yang diberikan, tanpa bimbingan yang berkesinambungan sampai petani peternak mempraktikan dan merasakan manfaat dari penerapan teknologi tersebut, maka penyuluhan yang dilakukan hanya akan sebatas teori saja. Percontohan budidaya rumput dilaksanakan di lahan kelompok peternak Desa Purwadadi Barat. Pembuatan Urea Molasses Blok belum dilaksanakan karena merupakan hal yang baru bagi peternak di Pasirbungur dan Purwadadi Barat, sehingga umumnya mereka belum berani untuk mencobanya sebelum melihat sendiri praktek dan keberhasilannya di peternak sekitar mereka. yang telah memfasilitasi dan mendanai kegiatan, serta aparat Desa Pasirbungur dan Purwadadi Barat yang telah membantu kelancaran kegiatan ini (Susilawati, 2014).