Kamis, 12 April 2018

makalah pembuatan susu evaporasi dan pembuatan susu bubuk //teknologi susu dan telur

Ngindonesia.. Slow but sure...

 susu evaporasi dan susu bubuk


PENDAHULUAN

Susu adalah sekresi ambing hewan yang diproduksi dengan tujuan penyediaan makanan bagi anaknya yang baru dilahirkan. Karena berfungsi sebagai makanan tunggal bagi mahluk yang baru dilahirkan dan mulai tumbuh, susu mempunyai nilai gizi yang sempurna. Dalam susu terdapat semua zat gizi yang diperlukan bagi kebutuhan pertumbuhan anak.

Susu adalah hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya, yang dapat dimakan atau dapat digunakan sebagai bahan makanan, yang aman dan sehat serta tidak dikurangi komponen-komponennya atau ditambah bahan-bahan lain. Sebagai bahan makanan atau minuman susu mempunyai nilai gizi yang tinggi, karena mengandung unsur-unsur kimia yang dibutuhkan oleh tubuh seperti Kalsium, Phosphor, Vitamin A, Vitamin B dan Riboflavin yang tinggi. Secara alami susu merupakan suatu emulsi lemak dalam air. Kadar air susu sangat tinggi yaitu rata-rata 87.5 %, dan di dalamnya teremulsi ber bagai zat gizi penting seperti protein, lemak, gula, vitamin dan mineral.
Susu merupakan sumber protein dengan mutu yang sangat tinggi, dengan kadar protein dalam susu segar 3.5 %, dan mengandung lemak yang kira-kira sama banyaknya dengan protein. Karena itu, kadar lemak sering dijadikan sebagai tolak ukur mutu susu, karena secara tidak langsung menggambarkan juga kadar proteinnya. Beberapa jenis sapi perah, khususnya dari Bos Taurus misalnya Jersey dan Guernsey mampu memproduksi susu dengan kadar lemak mendekati 5 %. Gula dalam susu disebut laktosa atau gula susu, kadarnya sekitar 5 - 8 %. Laktosa memiliki daya kemanisan sangat rendah, yaitu hanya 16 % daya kemanisan sukrosa. Laktosa merupakan senyawa yang banyak digunakan dalam pembentukan sel otak, khusunya bagi anak-anak usia di bawah 7 tahun, agar jumlah maupun perkembangan sel otaknya berlangsung dengan normal dan lancar.

Mineral yang banyak terdapat dalam susu adalah kalsium dan fosfor. Kedua mineral tersebut penting bagi pertumbuhan tulang. Sehingga bagi bayi dan anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang, susu merupakan sumber mineral yang penting.

Mineral lain seperti klorida, kalsium, magnesium dan natrium terlarut dalam air. Sedangkan sebagian kalsium posfat dan protein tidak berada dalam larutan murni, tetapi dalam bentuk dispersi koloid (kalsium posfat kaseinat) yang menyebabkan susu terkesan berwarna putih.
Vitamin yang tinggi terdapat dalam susu adalah niasin dan riboflavin. Karena tingginya kandungan riboflavin, susu tanpak berwarna kehijau-hijauan. Jika terkena sinar matahari langsung, riboflavin dalam susu cepat rusak.





Beberapa sifat fisik pada susu sapi segar, antara lain         :
Warna air susu
Warna air susu dapat berubah dari satu warna kewarna yang lain, tergantung dari jenis ternak, jenis pakan, jumlah lemak, bahan padat dan bahan pembentuk warna. Warna air susu bekisar dari putih kebiruan hingga kuning keemasan. Warna putih dari susu merupakan hasil dispersi dari refleksi cahaya oleh globula lemak dan partikel koloidal dari kasein dan kalsium phosphat. Warna kuning adalah karena lemak dan karoten yang dapat larut. Bila lemak diambil dari susu maka susu akan menunjukkan warna kebiruan.
Rasa dan bau air susu    
Kedua komponen ini erat sekali hubungannya dalam menentukan kualitas air susu. Air susu terasa sedikit manis, yang disebabkan oleh laktosa, sedangkan rasa asin berasal dari klorida, sitrat dan garam-garam mineral lainnya. Buckle et al., (1987) menyatakan bahwa cita rasa yang kurang normal mudah sekali berkembang di dalam susu. Bau air susu mudah berubah dari bau yang sedap menjadi bau yang tidak sedap. Bau ini dipengaruhi oleh sifat lemak air susu yang mudah menyerap bau disekitarnya. Demikian juga bahan pakan ternak sapi dapat merubah bau air susu.
Berat jenis air susu
Air susu mempunyai berat jenis yang lebih besar daripada air. Berat jenis air susu = 1.01 - 1.02. Akan tetapi menurut codex susu, berat jenis air susu adalah 1.028. Codex susu adalah suatu daftar satuan yang harus dipenuhi air susu sebagai bahan makanan. Daftar ini telah disepakati para ahli gizi dan kesehatan sedunia, walaupun disetiap negara atau daerah mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Berat jenis harus ditetapkan 3 jam setelah air susu diperah. Penetapan lebih awal akan menunjukkan hasil berat jenis yang lebih kecil. Hal ini disebabkan oleh perubahan kondisi lemak.
Kekentalan air susu (viskositas)
Seperti berat jenis maka viskositas air susu lebih tinggi daripada air. Viskositas air susu biasanya berkisar 1,5 – 2,0 cP. Pada suhu 20°C viskositas whey 1,2 cP, viskositas susu skim 1,5 cP dan susu segar 2,0 cP. Bahan padat dan lemak air susu mempengaruhi viskositas. Temperatur ikut juga menentukan viskositas air susu. Sifat ini sangat menguntungkan dalam pembuatan mentega.

PROSES PENGENTALAN SUSU SAPI
Proses evaporasi merupakan proses yang melibatkan pindah panas dan pindah massa secara simultan. Penguapan terjadi karena cairan mendidih dan berlangsung perubahan fase dari cair menjadi uap. Proses pindah panas dan pindah masa yang efektif akan meningkatkan kecepatan evaporasi. Untuk itu perlu dipertimbangkan kecepatan pindah panas dan jumlah panas yang dibutuhkan. Dalam proses ini sebagian air akan diuapkan dan akan terbentuk cairan kental yang disebut konsentrat. Proses evaporasi akan meningkatkan kepadatan bahan pangan dan juga menjadikan makanan lebih tahan lama karena kandungan Aw bahan berkurang.
Susu evaporasi adalah produk susu cair yang diperoleh dengan cara menghilangkan sebagian air dari susu segar atau susu rekonstitusi atau susu rekombinasi, dengan menggunakan proses evaporasi hingga diperoleh tingkat kepekatan tertentu. Produk dikemas secara kedap (hermetis) dan diproses dengan pemanasan setelah penutupan pengemas. Susu jenis ini kadar lemak susunya tidak kurang dari 7,5% dan total padatan tidak kurang dari 25%.

Evaporator adalah alat yang banyak digunakan dalam industri makanan untuk memekatkan suatu bahan pangan yang berupa cairan. Terdapat banyak tipe evaporator yang dapat digunakan dalam industri makanan. Umumnya evaporator dioperasikan pada kondisi vakum untuk menurunkan temperatur didih larutan. Apabila tekanan di dalam evaporator vakum diturunkan maka hal ini akan menyebabkan penurunan titik didih cairan bahan yang hendak dievaporasi. Pada saat evaporasi, terjadi pindah panas dan pindah massa secara bersamaan karena panas digunakan untuk menaikkan suhu produk  (panas sensible) dan untuk mengubah fase air menjadi uap (panas laten penguapan).
Kandungan air pada susu sapi segar relatif banyak, untuk mengurangi kadar air tersebut biasanya dilakukan proses evaporasi atau penguapan. Proses evaporasi nantinya akan menghasilkan produk susu kental. Susu kental diperoleh dengan cara mengurangi kandungan air susu melalui proses evaporasi untuk menurunkan kadar air susu menjadi 55,35% - 64,89% bb atau dengan kepekatan tertentu.
Proses penguapan susu dilakukan menggunakan cara batch evaporator menggunakan system double jacket dimana pada ruang penguapan susu segar yang dimasukkan tidak bersentuhan langsung dengan media pemanis, akan tetapi melalui perantara fluida yang berupa air. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan susu dari panas berlebih yang bisa menurunkan kualitas susu. Semakin rendah suhu yang digunakan maka waktu yang diperlukan semakin lama.
Energi yang diperlukan untuk evaporasi berasal dari energi panas kompor LPG dan energi mekanis dari pompa air, semakin tinggi suhu penguapan maka energi penguapan yang diperlukan semakin besar. Pada saat penguapan terdapat dua jenis panas yaitu panas sensibel dan panas laten. Selama penguapan akan terjadi perubahan tekanan yang disebabkan oleh perubahan suhu. Unit yang berguna untuk membangkitkan tekanan vakum berasal dari unit ejector yang beruba saluran konvergen divergen.
Di dalam mesin penguap terdapat suatu kondensor yang berfungsi untuk mendinginkan uap panas. Proses pendinginan ini bertujuan mengurangi beban pompa selama penguapan. Peristiwa yang berlangsung di dalam kondensor adalah proses kondensasi, dimana uap panas dirubah wujudnya menjadi air. Kondensor yang digunakan terdiri dari unit pendingin uap panas dan penampung kondensat. Semakin lama proses maka suhu kondensat akan mengalami kenaikan, ini berhubungan dengan beban kondensasi yang ditanggung oleh air kondensasi yang bersirkulasi.
Bagi produk pangan, terutama yang sensitif terhadap suhu tinggi atau panas seperti susu, titik didih ini harus diturunkan lebih rendah dari titik didih air. Titik didih ini dapat diturunkan dengan menurunkan tekanan pada saat evaporasi berlangsung. Dalam usaha untuk mengoptimasikan proses evaporasi jumlah energi yang dipakai juga tergantung pada karakteristik bahan pangan yang diuapkan, seperti koefisien pindah panas bahan. Aplikasi utama proses evaporasi dalam industri pangan bertujuan untuk  :
a)   Untuk pengentalan awal suatu bahan cair sebelum dilakukan proses pengolahan selanjutnya, misalnya sebelum dilakukan spray drying, drum drying, kristalisasi.
b)   Mengurangi volume cairan untuk mengurangi biaya penyimpanan, pengangkutan dan pengemasan.
c)   Menurunkan Aw (Activity Water) dengan meningkatkan kandungan bahan padat dalam bahan untuk membantu pengawetan, misalnya dalam pembuatan susu kental.
Susu evaporasi mengandung sekitar 8% lemak dan 18% padatan bukan lemak Proses pemekatan diawali dengan penambahan beberapa jenis garam termasuk fosfat, sitrat dan bikarbonat untuk mencapai pH 6,6 – 6,7 sehingga susu lebih stabil (tidak menggumpal) saat dipanaskan. Pemanasan dilakukan pada suhu 120 – 122 0C selama beberapa menit dengan alat penukar panas, lalu dilanjutkan dengan pemekatan dengan vakum evaporator (suhu 50 – 600C). Jenis evaporator lain yang juga dapat digunakan yaitu evaporator plat atau sentrifugal. Selama evaporasi densitas susu harus dimonitor hingga menghasilkan kepekatan yang diharapkan. Hasil pemekatan susu kemudian dihomogenkan dengan alat homogenizer untuk kemudian ditambahkan bahan penstabil dan didinginkan hingga 14 0C sebelum dikemas dalam kaleng dan disterilkan pada 110 - 120 0C selama 15-20 menit.

Teknologi pengolahan susu untuk mengkonversi susu menjadi produk lain seperti susu bubuk sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas produk susu, sehingga nantinya tetap dapat merebut pasar.

Susu bubuk adalah susu yang telah dikurangi kadar air yang terkandung dalam susu hingga batas tertentu. Pembuatan susu bubuk dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain spry drying, roller drying atau drum drying, dan dough drying. Dough drying adalah cara pengolahan susu bubuk yang paling kuno, prosesnya terdiri dari pengentalan dalam ruang vacuum, setelah kental dituang di loyang untuk dikeringkan dalam ruang pengering. Pengeringan spry drying banyak dilakukan saat ini diindustri pengolahan susu skala besar, dan membutuhkan energi listrik yang besar, sehingga dalam skala kecil kurang efisien.

Teknik foam-mat drying adalah suatu proses pengeringan dengan pembuatan busa dari bahan cair yang ditambah dengan foam stabilizer dengan pengeringan pada suhu 70 – 75 oC. Teknik ini merupakan pengembangan dari metode pengeringan, dengan melakukan treatment pada bahan baku selanjutnya  pengeringan dengan suhu yang relatif rendah dengan menggunakan cabinet drying pun dapat dilakukan sehingga dapat diterapkan pada unit skala usaha kecil seperti KUD atau ditingkat kelompok ternak, tetapi masih membutuhkan riset yang mendalam untuk dapat diterapkan dalam pembuatan susu bubuk.

Tipe-tipe susu bubuk yang dikenal dipasaran, biasanya menunjukkan kadar lemak, bahan baku yang diproses, serta proses atau metode pengeringan yang digunakan. Bahan baku dapat berupa susu penuh, susu skim, susu mentega, dan whey. Sedangkan pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan proses penyemprotan atau menggunakan proses drum/ roller panas. Susu bubuk penuh umumnya dibuat dari susu dengan kandungan lemak yang normal, cara pengeringan yang digunakan biasanya penyemprotan (spray drying) (Susrini dan Khotimah K., 2001).

Komposisi susu bubuk bervariasi tergantung bahan bakunya, karena sebagian besar airnya dihilangkan maka bahan keringnya naik kira-kira dengan proporsi yang sama. Komposisi susu bubuk dari bahan baku susu penuh (whole milk), kadar air 3,5%, protein, 25,2%, lemak 26,2%, laktosa 38,1% dan mineral sebesar 7% (Belitz and Grosch, 1987).

PEMBAHASAN

Susu merupakan hasil sekresi kelenjar susu hewan mamalia betina sebagai sumber gizi bagi anaknya. Kebutuhan gizi pada setiap hewan mamalia betina bervariasi sehingga kandungan susu yang dihasilkan juga tidak sama pada hewan mamalia yang berbeda (potter, 1976). Menurut Winarno (1993) bahwa susu adalah cairan berwarna putih yang disekresi oleh kelenjar mamae (ambing) pada binatang betina untuk bahan makanan dan sumber gizi bagi anaknya. Sebagian besar susu yang dikonsumsi manusia berasal dari sapi. Susu tersebut diproduksi dari unsur darah pada kelenjar susu sapi.

Susu merupakan makanan alami yang hampir sempurna. Sebagian besar zat gizi esensial ada dalam susu diantaranya yaitu protein, kalsium, fosfor, vitamin A, dan tiamin. Susu merupakan sumber kalsium yang paling baik, karena disamping kadar kalsium yang tinggi, laktosa di dalam susu membantu absorbsi susu di dalam saluran cerna (Almatsier, 2002).
Sebagai makanan bernilai nutrisi tinggi, susu merupakan medium yang sangat disukai oleh mikrooganisme untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini menyebabkan dalam waktu yang sangat singkat susu menjadi tidak layak dikonsumsi bila tidak ditangani secara benar. Kerusakan pada susu disebabkan oleh terbentuknya asam laktat sebagai hasil fermentasi laktosa oleh bakteri yang mencemarinya saat pengolahan. Fermentasi oleh bakteri ini akan menyebabkan perubahan flavor, warna dan tekstur sehingga tidak dapat diterima oleh konsumen (Fellows, 2008).


Secara umum, mikroorganisme perusak pada susu adalah mikroorganisme psikotrof. Kebanyakan mikroorganisme dari kelompok ini dapat dimatikan dengan pasteurisasi. Namun beberapa jenis seperti Pseudomonas fluorescens dan Pseudomonas fragi dapat memproduksi enzim proteolitik dan lipolitik yang stabil pada suhu tinggi dan dapat menyebabkan kerusakan. Beberapa spesies dan keturunan dari Bacillus, Clostridium, Corynebacterium, Arthrobacter, Lactobacillus, Microbacterium, Micrococcus, dan Streptococcus dapat bertahan pada suhu pasteurisasi dan sekaligus mampu tumbuh pada suhu ruang pendingin sehingga menyebabkan kerusakan dan pembusukan pada susu (Smit, 2000).

Mikroorganisme yang berkembang di dalam susu selain menyebabkan susu menjadi rusak juga membahayakan kesehatan masyarakat sebagai konsumen akhir. Produksi susu yang higienis seperti penanganan yang cepat dan tepat, penggunaan alat produksi dan alat penyimpanan serta teknik teknik pasteurisasi telah menurunkan ancaman penyebaran penyakit melalui susu seperti tuberkulosis (TBC), brucellosis dan lain sebagainya (Fellows, 2008).

Konsumsi susu tanpa dimasak terlebih dahulu atau kurang baik dalam penanganan sepanjang proses produksinya dapat menimbulkan beberapa kasus penyakit. Beberapa bakteri patogen dalam susu segar dan produk susu yang masih menjadi perhatian saat ini antara Bacillus cereus, Listeria monocytogenes, Yersinia enterocolitica, Salmonella spp., Escherichia coli O157:H7, dan Campylobacter jejuni (Smit, 2000). Selain bakteri, beberapa jenis jamur dari spesies Aspergillus, Fusarium, dan Penicillium dapat tumbuh dalam susu dan produk susu lainnya. Apabila kondisinya memungkinkan, jamur ini dapat memproduksi zat mycotoxin yang dapat berbahaya bagi kesehatan. Pengolahan susu memiliki persyaratan fasilitas seperti penyimpanan dingin, dan tergantung pada produk, dapat memerlukan biaya yang mahal, misalnya untuk alat pasteurisasi (FAO, 2005 dan Fellows, 2008). Meskipun demikian, pengolah susu skala kecil dapat diperlengkapi dengan peralatan berbiaya rendah untuk produksi yoghurt dan es krim. Khusus untuk produk olahan susu yang tidak disterilisasi seperti ini, maka refrigerator merupakan alat yang harus disediakan untuk memperpanjang umur simpan produk (Kutz, 2007).

Susu evaporasi adalah produk susu cair yang diperoleh dengan cara menghilangkan sebagian air dari susu segar atau susu rekonstitusi atau susu rekombinasi, dengan menggunakan proses evaporasi hingga diperoleh tingkat kepekatan tertentu. Produk dikemas secara kedap (hermetis) dan diproses dengan pemanasan setelah penutupan pengemas. Susu jenis ini kadar lemak susunya tidak kurang dari 7,5% dan total padatan tidak kurang dari 25%.
Proses evaporasi merupakan proses yang melibatkan pindah panas dan pindah massa secara simultan. Penguapan terjadi karena cairan mendidih dan berlangsung perubahan fase dari cair menjadi uap. Dalam proses ini sebagian air akan diuapkan dan akan terbentuk cairan kental yang disebut konsentrat. proses penguapan susu dilakukan menggunakan cara batch evaporator menggunakan sistem double jacket dimana pada ruang penguapan susu segar yang dimasukkan tidak bersentuhan langsung dengan media pemanis, akan tetapi melalui perantara fluida yang berupa air. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan susu dari panas berlebih yang bisa menurunkan kualitas susu. Semakin rendah suhu yang digunakan maka waktu yang diperlukan semakin lama.

Berikut ini adalah bagan pembuatan susu evaporasi          :
Susu Sapi Segar
Uji Mutu
Penyaringan
Pencampuran
Pasteurisasi
Evaporasi
Homogenisasi
Susu Kental
Pertama susu sapi segar diseleksi terlebih dahulu untuk menghasilkan produk akhir berkualitas. Bahan baku utama yang digunakan memiliki persyaratan kandungan air dan total solid dimana secara umum sama dengan persyaratan pada pembuatan susu bubuk. Sebelum susu diproses, terlebih dahulu dilakukan pengujian untuk memeriksa kualitas bahan baku meliputi rasa, kandungan bakteri dan komposisi protein dan lemak. Setelah susu dinyatakan memenuhi kualitas yang disyaratkan, proses selanjutnya adalah penyaringan.
Proses penyaringan bertujuan memisahkan benda-benda pengotor susu serta menghilangkan sebagian lekosit dan bakteri yang dapat menyebabkan kerusakan susu selama penyimpanan. Susu hasil evaporasi didinginkan di dalam tangki kemudian ditambahkan minyak atau lemak maupun yang lainnya, pencampuran ini dilakukan menggunakan mixer berkecepatan tinggi pada suhu 50-55oC.
Proses selanjutnya yaitu pasteurisasi, pasteurisasi bertujuan membunuh bakteri patogen. Teknis pasteurisasi dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu High Temperature Short Time (HTST) yaitu pasteurisasi dilakukan pada suhu tinggi dengan waktu yang sangat pendek dan pasteurisasi dilakukan pada suhu rendah dengan waktu yang cukup lama. Waktu pasteurisasi biasanya hanya bekisar 30 detik saja dengan suhu antara 85-90oC.
Proses yang paling mendasar pada pembuatan susu kental adalah proses evaporasi yang bertujuan untuk mengurangi kandungan air dengan failing film yaitu alat evaporasi yang memungkinkan penguapan terjadi secara tepat sehingga waktu kontak dengan media pemanas menjadi singkat. Alat pemanas yang digunakan adalah steam yang bekerja pada tekanan vakum, sehingga penguapan air dalam susu dapat berlangsung pada temperatur yang tidak terlalu tinggi agar tidak merusak susu. Evaporasi dilakukan sampai kadar air akhir dalam produk mencapai 55,35 - 64,89%. Proses terakhir dalam pembuatan susu kental sebelum akhirnya menjadi produk yang bisa dikonsumsi yaitu homogenisasi, bertujuan untuk mencegah pembentukan agregat lemak (lapisan krim) serta untuk meningkatkan konsistensi produk, mengoptimalkan stabilitas susu setelah pencampuran.

Aplikasi utama proses evaporasi dalam industri pangan bertujuan untuk :
Untuk pengentalan awal suatu bahan cair sebelum dilakukan proses pengolahan selanjutnya, misalnya sebelum dilakukan spray drying, drum drying, kristalisasi.
Mengurangi volume cairan untuk mengurangi biaya penyimpanan, pengangkutan, dan pengemasan.
Menurunkan AW ( Activity Water) dengan meningkatkan kandungan bahan padat dalam bahan untuk membantu pengawetan, misalnya dalam pembuatan susu kental.

Perubahan yang terjadi karena proses evaporasi meliputi :
Kadar air
Kadar air adalah kandungan air yang masih tersisa dalam susu setelah mengalami proses penguapan. Kadar air susu evaporasi berkisar antara 55,35% - 64,89%.
Berat Jenis
Berat jenis adalah rasio dari densitas suatu bahn terhadap densitas standar pada suhu dan tekanan standar. BJ pada susu segar adalah 1,01 – 1,02 sedangkan pada susu yang telah dievaporasi BJ susu akan meningkat.
Viskositas
Viskositas yaitu resistensi atau ketidakmauan suatu bahan untuk mengalir yang disebabkankarena adanya gesekan atau perlawanan suatu bahan terhadap deformasi atau perubahan bentuk apabila bahan tersebut dikenai gaya tertentu. Tingkat viskositas susu sapi segar biasanya sebesar 6,3 cP, kekentalan akan semakin meningkat setelah susu diuapkan yaitu sebesar 28,6 cP pada suhu 600C dan 13,3 pada suhu 500C.
Rendemen
Rendemen merupakan besarnya prosentase bahan yang tertinggal. Rendemen akan meningkat apabila perlakuan diterapkan pada suhu rendah, sebaliknya pada suhu tinggi rendemen semakin berkurang. Perlakuan pada suhu 600C menghasilkan rendemen sebesar 22,3% dan pada suhu 500C rendemen yang dihasilkan meningkat menjadi 36,91%.
Laju Penguapan
Laju penguapan merupakan jumlah air yang dapat diuapkan secara simultan oleh mesin penguap vacum dalam satu satuan waktu.

Pada pembuatan susu bubuk metode foam mat drying ini selain ditambah bahan dalam penstabil busa sebelum dikeringkan, susu dicampur dulu dengan bahan pengental natrium alginat yang digunakan sebelum dibusakan ataupun dikeringkan. Alginat merupakan salah satu bahan yang berpengaruh besar dalam mengentalkan cairan atau minuman, sifat alaginat adalah larut dalam air dingin dan akan lebih baik bekerja pada pH asam. Viskositas alginat dalam larutan dipengaruhi oleh berat molekul, konsentrasi, pH, dan keberadaan garam. Semakin tinggi berat molekul dan konsntrasi alginat, viskositas larutan akan semakin tinggi. Kenaikkan suhu akan menyebabkan penurunan viskositas (Sthepen A.M. (edt), 1995).

Pengukuran kadar protein susu bubuk metode foaming drying dilakukan berdasarkan metode Kjeldhal. Metode Kjeldhal menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan secara tak langsung, karena yang dianalisis adalah kadar (total) nitrogennya saja (N).  Hadiwiyoto (1994) menambahkan yang mengalikan hasil analisis dengan faktor sebesar 6,38 untuk semua produk susu, diperoleh nilai protein bahan makanan tersebut, semakin besar kadar nitrogen yang terukur menyebabkan semakin tinggi kadar protein susu bubuk (Winarno, F.G., 2002).

Kadar protein susu bubuk dari metode foat-mat drying dengan penambahan bahan penstabil busa ini berkisar antara 7 – 9 %. Sedangkan menurut Belitz and Grosch (1987) susu bubuk yang dibuat dari bahan baku susu penuh (whole milk) mempunyai kadar protein sekitar 25,2 %. Perbedaan yang cukup jauh ini diduga disebabkan adanya proses pengeringan yang terlalu lama sehingga dimungkinkan adanya kerusakan protein susu yaitu kasein. Kasein tidak berubah secara nyata dengan proses perlakuan pemanasan biasa, tetapi akan rusak dengan pemanasan yang tinggi dan lama (Susrini dan Khotimah K., 2001).

Tinggi rendahnya kelarutan susu bubuk selain dari bahan yang ditambahkan juga akibat dari peralatan yang dipergunakan. Kondisi pengeringan yang tidak sempurna, naiknya suhu udara pengering akan berakibat pada tingginya solubility (bagian protein yang tidak larut dalam suatu produk susu bubuk) dari produk yang dihasilkan (Widodo, 2003). Kelarutan berhubungan dengan kadar air bahan, dimana semakin tinggi kadar air kelarutan cenderung semakin kecil, karena jika kadar air tinggi terbentuk gumpalan–gumpalan sehingga dibutuhkan waktu yang lama untuk memecah ikatan antar partikel dan kemampuan produk untuk larut menurun, sebagai akibat total padatan yang tersaring pada kertas saring meningkat (Yunizal, J. M., J.T. Murtini, dan B Jamal, 1999).


Tipe-tipe susu bubuk yang dikenal dipasaran, biasanya menunjukkan kadar lemak, bahan baku yang diproses, serta proses atau metode pengeringan yang digunakan. Bahan baku dapat berupa susu penuh, susu skim, susu mentega, dan whey. Sedangkan pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan proses penyemprotan atau menggunakan proses drum/ roller panas. Susu bubuk penuh umumnya dibuat dari susu dengan kandungan lemak yang normal, cara pengeringan yang digunakan biasanya penyemprotan (spray drying) (Susrini dan Khotimah K., 2001).

Komposisi susu bubuk bervariasi tergantung bahan bakunya, karena sebagian besar airnya dihilangkan maka bahan keringnya naik kira-kira dengan proporsi yang sama. Komposisi susu bubuk dari bahan baku susu penuh (whole milk), kadar air 3,5%, protein, 25,2%, lemak 26,2%, laktosa 38,1% dan mineral sebesar 7% (Belitz and Grosch, 1987).


KESIMPULAN

Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan yaitu :
Susu adalah sekresi ambing hewan yang diproduksi dengan tujuan penyediaan makanan bagi anaknya yang baru dilahirkan.
Sebagian besar zat gizi esensial ada dalam susu diantaranya yaitu protein, kalsium, fosfor, vitamin A, dan tiamin.
Susu evaporasi adalah produk susu cair yang diperoleh dengan cara menghilangkan sebagian air dari susu segar atau susu rekonstitusi atau susu rekombinasi, dengan menggunakan proses evaporasi hingga diperoleh tingkat kepekatan tertentu.
Pembuatan susu bubuk dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain spry drying, roller drying atau drum drying, dan dough drying.
Komposisi susu bubuk bervariasi tergantung bahan bakunya, karena sebagian besar airnya dihilangkan maka bahan keringnya naik kira-kira dengan proporsi yang sama. Komposisi susu bubuk dari bahan baku susu penuh (whole milk), kadar air 3,5%, protein, 25,2%, lemak 26,2%, laktosa 38,1% dan mineral sebesar 7%.


Daftar Pustaka

Yunizal, J. M., J.T. Murtini, dan B Jamal . 1999. Teknologi Ekstraksi Alginat dari Rumput Laut Coklat ( Phaeophyceae) Dalam Laporan Teknik 1998-1999. Balai penelitian Rancang Bangun Mesin Pengemas dan Rekayasa Teknologi Industri Tahu kemas. Malang : Fak. Teknologi Pertanian. Unibraw.

Susrini dan Khotimah K., 2001. Ilmu Dan Teknologi Pengolahan Susu. Malang : Program studi Teknologi Industri Peternakan, Universitas Muhammadiyah  Malang.

Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Jakarta.

Sthepen A.M. (edt)., 1995. Food Polysoccharides and Their Aplication. Marchel Dekker. Inc. New York.

Khotimah K. 2006. Pembuatan Susu Bubuk Dengan Foam – Mat Drying : Kajian Pengaruh Bahan Penstabil Terhadap Kualitas Susu Bubuk. Jurnal Protein. Vol. 13 No.1 Th. 2006.

Zuhra, Sofyana, Erlina C. 2012. Pengaruh Kondisi Operasi Alat Pengering Semprot Terhadap Kualitas Susu Bubuk Jagung. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. Vol. 9, No. 1, Hal 36 – 44, 2012. ISSN 1412 – 5064.

Badan Standarisasi Nasional. 2006. Susu Bubuk. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional – BSN. SNI 01 – 2970 – 2006.

Hartayanie L. Sulistyawati I. 2010. Sentuhan Teknologi Untuk Meningkatkan Nilai Ekonomi Susu Sapi. Kajian Politik Lokal dan Sosial – Humaniora. Renai. ISSN 1411 – 7924.

Koswara S. 2009. Teknologi Pengolahan Susu. Produksi : eBookPangan.com.

makalah teknologi hasil ternak daging beku


Kuz_ngindonesia.....


Makalah Daging Beku


PENDAHULUAN

Kesadaran masyarakat tentang pentingnya mengkonsumsi protein hewani semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan hidup sehat. Daging sebagai salah satu bahan pangan hewani yang memiliki banyak macamnya seperti daging sapi, daging kambing, daging ayam, daging babi, dan sebagainya. Daging adalah semua produk hasil pemotongan hewan yang layak dimakan. Pasca konversi otot menjadi daging telah terjadi banyak perubahan dan perubahan inilah yang menyebabkan daging tersebut sangat mudah terganggu atau terkontaminansi mikrobia yang berdampak pada penurunan kualitas. Perubahan otot menjadi daging menghasilkan peningkatan panas. Peningkatan panas ini akan mendorong proses glikosis secara anaerob dan berdampak pada terjadinya kerusakan daging. Oleh karena itu, dewasa ini pasca pemotongan ternak atau pasca konversi otot menjadi daging diperlukan penanganan yang tepat sehingga kualitas daging tersebut tetap terjaga.

Kerusakan - kerusakan yang terjadi pada daging sapi tidak hanya menyebabkan bentuk dan rupa komoditas menjadi kurang menarik, tetapi juga memberikan kesempatan bagi organisme untuk masuk dan merusak daging. Kerusakan-kerusakan yang terjadi juga dapat menyebabkan kehilangan air dan bau busuk. Daging rusak karena memiliki kadar air yang tinggi dan aktivitas air tinggi. Untuk itu, perlu dilakukan proses penanganan agar kerusakan mekanis tidak terjadi. Salah satu penanganan yang dapat dilakukan adalah pembekuan.
Pengawetan daging dengan suhu rendah khususnya metode pembekuan, merupakan upaya mempertahankan kualitas daging selama penyimpanan. Pembekuan daging biasanya dilakukan pada suhu dibawah titik beku air yakni suhu 00C (lawrie, 2003). Dampak dari pembekuan itu sendiri yakni daging menjadi terbebas dari pembusukan. Seperti diketahui bahwa daging sebagai produk hasil ternak yang bersifat hayati sehingga mudahnya komponen daging seperti protein daging mengalami denaturasi atau degradasi baik secara alami (autolisis) maupun oleh aktivitas enzim yang dihasilkan oleh bakteri yang mengkontaminan. Kualitas daging beku pada akhirnya tentu salah satunya akan dipengaruhi oleh kondisi sebelum daging tersebut dibekukan. Penyimpanan yang dilakukan sebelum pembekuan tidak mampu diperbaiki oleh metode pembekuan itu sendiri. Karena prinsip pembekuan daging tidak memperbaiki kualitas akan tetapi mempertahankan kualitas asalnya. Oleh karena itu, jika terjadi penyimpanan sebelum dilakukan pembekuan maka dampaknya akan tetap terjadi.
Pembekuan adalah penyimpanan daging dalam keadaan beku. Suhu yang baik untuk pembekuan beku daging adalah -120C sampai -240C. Proses pembekuan mampu mengawetkan bahan dan produk pangan dengan umur simpan yang panjang dan mutu yang baik. Hal ini disebabkan suhu rendah dapat memperlambat aktivitas metabolisme dan menghambat pertumbuhan mikroba dan mencegah terjadinya reaksi – reaksi kimia.

Produk daging beku merupakan suatu alternatif pilihan pengawetan daging supaya tahan lama karena selain proses kerusakan daging dapat terhambat juga proses pembekuan tidak merubah daging ke bentuk olahan yang lain, sehingga ketersediaan daging segar dapat terjamin.

Lama pelayuan daging sebelum dibekukan, temperatur pembekuan dan bahan pengemas yang digunakan merupakan faktor – faktor yang perlu diperhatikan agar dapat dihasilkan daging beku yang berkualitas tinggi. Pada pelayuan daging terjadi denaturasi protein yang mengakibatkan aktivitas mikrobia sudah terhambat, sehingga kerusakan struktur daging dapat dikurangi seminimal mungkin dan akan menjamin kualitas daging beku yang dihasilkan.
Penyimpanan dingin dapat memperlambat reaksi oleh enzim. Pembekuan dapat menghentikan pertumbuhan mikroba. Untuk pertumbuhannya, mikroba mempunyai batas suhu minimal. Untuk pertumbuhannya artinya di bawah suhu tersebut mikroba tidak akan memperbanyak diri. Semakin sedikit jenis mikroba yang bisa tumbuh pada suhu yang makin rendah dan air dalam daging akan membentuk es sehingga tidak bisa digunakan oleh mikrobauntuk pertumbuhannya. Daging yang dibekukan hendaknya telah melalui proses aging sehingga tahap post rigor mortis telah terlewati. Jika proses rigor mortis belum terlewati, maka proses rigor mortis tetap aan berlangsung selama pembekuan – pengolahan, sehingga ada resiko terjadinya pengkerutan daging.
Prinsip pembekuan adalah bukan dimaksudkan untuk membunuh mikroba, tetapi hanya menghambat pertumbuhannya. Sehingga mutu hygiene daging beku sangat tergantung dari mutu awal daging segarnya dan kontaminasi yang terjadi saat penanganan dan pengolahannya. Parasit seperti cacing dan larvanya, umumnya selama pembekuan mengalami kematian. Aspek negatif keamanan pangan yang perlu diperhatikan adalah terbentuknya radikal bebas dan peroksida akibat oksidasi lemak. Produk daging beku mutu teknologinya berbeda dengan mutu daging segar baik menyangkut kemampuan ekstraksi protein, kemampuan emulsi, maupun kemampuan mengikat air sehingga mutu produk olahan daging yang dibuat dari daging segar dan daging beku sering berbeda jauh terutama menyangkut tekstur, kekenyalan, dan juiciness. Hal ini karena pada daging beku umumnya kandungan ATP sudah sangat sedikit, bahkan tidak ada.hal tersebut mengakibatkan struktur protein myofibrilnya menjadi tidak mengembang dan sulit larut. Oleh sebab itu, agar tidak  terlalu jauh dengan mutu daging segar, pengolahan daging beku harus dibantu dengan bahan tambahan pangan seperti fosfat dan garam.
Umur simpan daging selama pembekuan sangat tergantung dari berbagai faktor diantaranya adalah jenis daging, ukuran daging, mutu bahan baku, teknik pembekuan, jenis dan cara pengemasan, suhu pembekuan, dan lain – lain. Daging dengan pembekuan lambat (suhu -180C) umumnya umurnya kurang dari 6 bulan, dengan pembekuan sedang ( suhu -180 sampai -240C) bisa sampai 1 tahun, dan bila dengan pembekuan cepat (< -300C) yang didukung pengemasan baik dapat mencapai 2 tahun.

Beberapa syarat untuk memperoleh hasil daging beku yang baik yaitu :
Daging berasal dari ternak yang sehat
Daging berasal dari pemotongan ternak dengan cara yang baik
Daging telah mengalami proses pelayuan
Daging dibungkus dengan bahan yang kedap udara
Temperatur pembekuan -180C atau lebih rendah lagi

Sedangkan kerusakan kimia dan fisik pada daging pada penyimpanan beku yaitu :
Kehilangan zat – zat gizi pada waktu daging beku dikembalikan ke bentuk asal
Perubahan warna daging dari merah menjadi gelap
Timbulnya bau tengik pada daging
Thawing sering kali menyebabkan perubahan atau penurunan mutu daging baik dari aspek mutu zat gizi, mutu sensori, mutu hygiene dan keamanan pangan, maupun mutu teknologi lebih signifikan dibandingkan perubahan mutu selama penyimpanan beku sendiri. kesalahan thawing dapat mengakibatkan kehilangan cairan daging yang terlalu banyak, sehingga rendemen turun, aroma dan rasa daging jauh berkurang, struktur serat daging rusak sehingga mengakibatkan penurunan mutu tekstur, penurunan mutu teknologi, dan daya emulsinya. Prinsip thawing yang benar adalah thawingdilakukan seperti saat pembekuannya. Daging atau produk pangan yang dibekukan dengan teknik lambat harus dilakukan thawing dengan teknik lambat, daging dibekukan cepat dapat dilakukan thawing dengan teknik cepat namun terbaiknya dilakukan dengan thawing teknik lambat.


PEMBAHASAN

karakteristik aneka daging ternak yang berbeda tidak menghambat terjadinya pembusukan daging tersebut. Seperti diketahui bahwa karakteristik daging sapi yakni daging sapi berwarna merah terang/ cerah, mengkilap , tidak pucat dan tidak kotor. Secara fisik daging elastis, sedikit kaku dan tidak lembek. Jika di pegang masih terasa basah dan tidak lengket di tangan. Dari segi aroma daging sapi sangat khas (gurih). Kandungan protein daging sapi sebesar 18,8 % dan lemak total 14 %. Sementara daging ayam memiliki warna putih keabuan dan cerah. Warna kulit ayam biasanya putih kekuningan dan bersih. Jika disentasa lembab tidak lengket. Serat daging ayam halus, mudah dikunyah dan digiling, mudah dicerna, serta memiliki flavor lembut. Aroma daging ayam tidak menyengat, tidak berbau amis dan tidak busuk, Daging ayam mengandung protein 18,2 % dan lemak total 25 %. Daging domba dan kambing memiliki Ciri-ciri yang hampir sama dengan daging sapi. Namun demikian daging domba dan kambing memilki serat lebih kecil dibandingkan serat daging sapi, serta aroma daging kambing yang khas goaty (istilah bahasa jawa prengus). Daging domba dan kambing masing-masing mengandung protein 17,1 % dan 16,6 % dan lemak 14,8 % dan 9,2 %. Daging kelinci dengan karakteristik yakni tidak berbau, warnanya putih hampir sama dengan daging ayam, seratnya halus, kandungan nutrisi daging kelinci adalah rendah kolesterol sehingga baik dikonsumsi oleh penderita jantung, manula, dan obesitas, serta dipercaya dapat mengobati asma karena mengandung kitotefin serta asam lemak omega tiga dan omega sembilan. Daging kelinci mengandung protein antara 18,6 – 25,6 % dan kadar lemak 3,91 – 10,9 %. Kesemua karakteristik yang berbeda tersebut ternyata dapat mengalami pembusukan atau kerusakan. Karakteristik/Penampilan tidak bisa terhindar dari pembusukan jika tidak diawetkan.

Lawrie (2003) menyebutkan bahwa daging memang merupakan media yang ideal bagi perkembangbiakan mikroorganisme (baik mikroorganisme perusak maupun pembusuk). Hal ini disebabkan kadar air daging yang sangat tinggi (68-75%), kaya akan zat yang mengandung nitrogen, mengandung sejumlah zat yang dapat difermentasikan, kaya akan mineral, dan mempunyai pH yang menguntungkan bagi pertumbuhan mikroorganisme (5,3-6,5). Cepat atau lambatnya daging mengalami kerusakan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti suhu daging, suhu lingkungan, kadar air, kelembapan, jumlah oksigen, tingkat pH, dan kandungan gizinya (Soeparno, 1998). Oleh karena itu, upaya mencegah terjadinya kerusakan daging tersebut dilakukan dengan pengawetan dan salah satunya dengan pengawetan suhu rendah atau pembekuan.

Penanganan daging sebelum dibekukan akan menentukan kualitas daging beku. Pelayuan daging dan pengemasan merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan pembekuan. Pada pelayuan daging terjadi denaturasi protein yang mengakibatkan keempukan daging meningkat, tetapi sebaliknya water holding capacity (WHC) daging menurun yang mengakibatkan susut masak (cooking lost) meningkat (Lawrie, 2003). Lama pelayuan daging sebelum dibekukan akan meningkatkan jumlah cairan daging segar (weep) dan cairan daging beku (drip) yang keluar pada saat pencairan kembali (thawing). Kondisi ini dapat berdampak pada penurunan kandungan nilai gizi dalam daging yang ikut terlarut dalam drip (Lawrie, 2003). Lama pelayuan daging berhubungan dengan selesainya proses rigormortis (proses kekakuan daging), dalam hal ini apabila proses rigormortis belum selesai dan daging terlanjur dibekukan maka akan menurunkan kualitas daging atau daging mengalami proses cold shortening (pengkerutan dingin) ataupun thaw rigor (kekakuan akibat pencairan daging beku) pada saat thawing sehingga akan dihasilkan daging yang tidak empuk/alot (Buckle et al., 1978). Penggunaan temperatur untuk pembekuan daging perlu dipertimbangkan pada temperatur cairan daging telah membeku semua disamping itu juga proses enzimatis, proteolitik, hidrolisis, oksidatif dan aktivitas mikrobia sudah terhambat sehingga kerusakan struktur daging dapat dikurangi seminimal mungkin dan akan menjamin kualitas daging beku yang dihasilkan.

Pembekuan merupakan metode yang sangat baik untuk pengawetan daging. Proses pembekuan tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap sifat kualitatif maupun organoleptik seperti warna dan flavor daging setelah pemasakan. Nilai nutrisi daging secara relatif tidak mengalami perubahan selama pembekuan dalam jangka waktu terbatas. Beberapa persyaratan untuk memperoleh daging beku yang baik adalah: (1) daging segar harus berasal dari daging yang sehat, (2) pengeluaran darah pada saat pemotongan harus sesempurna mungkin, (3) temperatur karkas atau daging harus secepatnya diturunkan pada temperatur dingin (daging segar sudah mengalami pendinginan), (4) periode pelayuan harus dibatasi, (5) karkas atau daging harus dibungkus dengan menggunakan material yang berkualitas baik, dan (6) temperatur pembekuan setidak-tidaknya -18 oC atau lebih rendah. Kualitas daging beku dipengaruhi oleh faktor seperti: (1) lama waktu daging di dalam penyimpanan dingin sebelum pembekuan, (2) laju pembekuan, (3) lama penyimpanan beku, (4) kondisi dalam penyimpanan beku, (5) tipe pakan ternak, (6) umur ternak, (7) pH daging, (8) kontaminasi dengan logam berat, dan (9) jumlah mikrobia awal (Soeparno 2005).

Produk daging beku merupakan suatu alternatif pilihan pengawetan daging supaya tahan lama, karena selain proses kerusakan daging dapat terhambat juga proses pembekuan tidak merubah daging ke bentuk olahan yang lain, sehingga ketersediaan daging segar dapat terjamin. Pembekuan daging adalah salah suatu cara dari pengawetan daging yaitu dengan membekukan daging di bawah titik beku cairan yang terdapat di dalam daging, titik beku daging pada temperatur -20 s/d -30C (Desrosier, 1969). Proses pembekuan daging dapat menghambat pertumbuhan mikrobia, proses proteolitik, proses hidrolisis, proses lipolitik dan sedikit proses oksidatif (Tranggono et al.,1990).

Penggunaan bahan pengemas dalam pembekuan daging dapat mencegah terjadinya gosong beku (Freezer burn) yang dapat menyebabkan perubahan flavor, warna, tekstur dan penampakan daging beku yang tidak menarik, selain itu pengemas dapat mengurangi terjadinya desikasi, dehidrasi dan oksidasi lemak, sehingga kualitas daging beku dapat dipertahankan (Urbain, 1971). Plastik polietilen (PE), plastik polipropilen (PP) dan aluminium foil dapat digunakan sebagai bahan pengemas (Harte, 1985).


Laju pembekuan cepat akan lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan pembekuan lambat. Jika pembekuan tidak dilakukan dengan cepat, kristal es yang terbentuk akan membesar dan merusak dinding sel, sehingga apabila daging sapi dicairkan kembali untuk pengolahan selanjutnya, sel penyusun daging sapi akan rusak. Sedangkan laju pembekuan cepat akan menghasilkan kristal es berukuran kecil, sehingga tidak merusak struktur sel yang dibekukan. Kristal es mulai terjadi diluar serabut otot (ekstraselular) karena tekanan osmotik ekstraselular lebih kecil daripada di dalam otot. Pembekuan kristal ekstraselular berlangsung terus, sehingga cairan ekstraselular yang tersisa dan belum membeku akan meningkat kekuatan fisiknya dan menarik air secara osmotik dari bagian dalam sel otot yang sangat dingin. Air ini membeku pada kristal es yang sudah terbentuk sebelumnya dan menyebabkan kristal es membesar. Kristal-kristal es yang membesar ini menyebabkan distorsi dan merusak serabut otot (Soeparno 2005).

Muchtadi (1997) menyatakan pembekuan cepat mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan cara lambat karena kristal es yang terbentuk kecil-kecil sehingga kerusakan mekanis yang terjadi lebih sedikit, pencegahan pertumbuhan mikroba yang berlangsung cepat dan kegiatan enzim juga cepat berhenti, serta bahan makanan yang dibekukan dengan cara cepat mempunyai mutu lebih baik daripada pembekuan lambat.

Tambunan et al. (2003) menyatakan bahwa pembekuan cepat adalah metode pengawetan bahan pangan yang mampu mempertahankan mutu dengan hasil terbaik. Keunggulan produk beku setelah pembekuan cepat adalah struktur kristal es yang kecil dan seragam, sehingga bila dicairkan (thawing) keadaannya masih mendekati sifat-sifat segarnya.

Menurut Diana C., Dinarsih E., dan Kardaya D. (2011) bahwa daging beku sebelum diolah biasanya dilakukan thawing (penyegaran kembali) terlebih dahulu. Teknologi yang berhubungan dengan thawing ini untuk menjadi lebih efektif banyak tersedia. Beberapa pendapat masyarakat mengatakan bahwa kualitas daging beku menyusut dibandingkan daging segar. Sedangkan menurut beberapa literartur menyebutkan bahwa kualitas daging selama pembekuan tidak berubah, tetapi akan terjadi perubahan kualitas daging pada saat thawing. Thawing dapat menyebabkan beberapa perubahan fisik dan kimia dan beberapa metode thawing yang dikenal masyarakat antara lain disimpan dalam refrigerator, disimpan dalam suhu kamar, direndam dalam air dingin (kran) dan direndam dalam air panas. Penelitian bertujuan untuk mengetahui metode thawing terbaik dan dampak yang ditimbulkan akibat berbagai cara thawing terhadap sifat fisik dan kimia daging sapi beku.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa :
Karakteristik aneka daging ternak yang berbeda tidak menghambat terjadinya pembusukan daging tersebut. Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada daging tidak hanya menyebabkan bentuk dan rupa komoditas menjadi kurang menarik, tetapi juga memberikan kesempatan bagi organisme untuk masuk dan merusak daging.
Pengawetan daging dengan suhu rendah khususnya metode pembekuan, merupakan upaya mempertahankan kualitas daging selama penyimpanan.
Prinsip pembekuan adalah bukan dimaksudkan untuk membunuh mikroba, tetapi hanya menghambat pertumbuhannya. Sehingga mutu hygiene daging beku sangat tergantung dari mutu awal daging segarnya dan kontaminasi yang terjadi saat penanganan dan pengolahannya.
Umur simpan daging selama pembekuan sangat tergantung dari berbagai faktor, diantaranya adalah jenis daging, ukuran daging, mutu bahan baku, teknik pembekuan, jenis dan cara pengemasan, suhu pembekuan, dan lain – lain.
Daging beku sebelum diolah biasanya dilakukan thawing (penyegaran kembali) terlebih dahulu.

Daftar Pustaka
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wooton, 1978. Food Science. Watson Ferguson dan Co. Brisbane, Australia.
Candra Dewi, S.H. 2012. Populasi Mikroba dan Sifat Fisik Daging Sapi Beku selama Penyimpanan. Jurnal AgriSains Vol. 3 No. 4, Mei 2012. ISSN : 2086 – 7719.
Diana C., Dihansih E., dan Kardaya D. 2011. Kualitas Fisik dan Kimiawi Daging Sapi Beku Pada Berbagai Metode Thawing. Jurnal Pertanian ISSN 2087 – 4936. Volume 2 Nomor 2, Oktober 2011.
Girsang A. R., 2010. Kajian Energi Pembekuan Daging Sapi Menggunakan Mesin Pembeku Tipe Lempeng Sentuh Dengan Suhu Pembekuan Berubah. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging edisi V. Terjemahan Aminuddin Parakasi, Jakarta : Universitas Indonesia.
Muchtadi, T. R. 1997. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sumerta M. I Nyoman. 2015. Teknologi Pembekuan Daging : Bentuk Selamat Dari Pembusukan. Denpasar : Universitas Udayana.
Widati Sri A. 2008. Pengaruh Lama Pelayuan, Temperatur Pembekuan dan Bahan Pengemas Terhadap Kualitas Kimia Daging Sapi Beku. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2008, Hal 39 – 49 Vol. 3 No.2. ISSN : 1978 – 0303